Rabu, 21 September 2011

Analisa Teori Sosiologi


Teori Fungsionalisme Struktural
Teori fungsional tentang stratifikasi seperti yang dikemukakan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore merupakan salah satu karya paling terkenal dalam teori fungsionalisme struktural. Davis dan Moore menjelaskan bahwa mereka memandang stratifikasi sosial sebagai sesuatu yang universal dan niscaya. Bagi mereka tidak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi, atau sepenuhnya tanpa kelas. Stratifikasi, menurut pandangan mereka, adalah keniscayaan fungsional. Semua masyarakat membutuhkan sistem semacam itu, dan kebutuhan itu terwujud dalam sistem stratifikasi. Mereka juga memandang sistem stratifikasi sebagai struktur, dengan menegaskan bahwa stratifikasi tidak hanya berarti individu dalam sistem stratifikasi namun juga sistem posisi. Isu fungsional utamanya adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan orang-orang pada posisi “tepat” dalam sistem stratifikasi. Namun demikian melalui posisi tersebut seorang yang terpilih dapat menyalahgunakan posisinya. Contoh kasus yang dapat menggambarkan hal tersebut adalah penyalahgunaan posisi sebagai pejabat untuk melakukan tindak korupsi.
            Tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan bukanlah hal yang mengejutkan dewasa ini. Berita-berita tentang tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat seperti sudah biasa bagi masyarakat di Indonesia. Para pejabat yang diberi kepercayaan penuh oleh masyarakat lebih memilih menyalahgunakan jabatannya untuk mengeruk materi sebanyak-banyaknya daripada memikirkan dan mengusakan kesejahteraan bagi rakyat kecil. Seseorang melakukan tindak korupsi karena mereka mempynyai jabatan yang penting di dalam masyarakat. Dengan jabatan yang tinggi mereka dapat dengan mudah memanipulasi data-data yang ada, selain itu mereka juga dapat dengan mudah memerintahkan bawahannya untuk meuruti apa yang menjadi keinginannya. Berdasarkan teori fungsional tentang stratifikasi, seseorang yang semakin tinggi tingkat stratifikasi maka orang tersebut akan lebih mempunyai kekuasaan untuk mengatur orang yang posisinya lebih rendah. Mereka yang berada di posisi atas akan mempunyai tanggungjawab yang sangat besar, dan tuntutan pekerjaan yang semakin berat dijadikan alasan oleh mereka untuk membenarkan tindakan korupsi yang dilakukannya. Menurut Davis dan Moore, untuk meyakinkan seseorang agar mau menempati posisi yang tinggi dengan tanggungjawab yang besar, individu-individu harus memberikan imbalan berupa prestise yang cukup tinggi, gaji tinggi dan kenyamanan yang memadai. Namun demikian, pada kenyataannya imbalan yang besar tidaklah cukup untuk menjamin kinerja mereka maksimal. Karena kenyataan yang terjadi sekarang, para pejabat lebih sibuk mencari akal untuk melakukan korupsi daripada mencari ide untuk memberantas kemiskinan dan masalah sosial lainnya di masyarakat. Tindak korupsi dapat terjadi bukan hanya karena sifat individu yang serakah, namun juga dikarenakan iklim atau lingkungan kerja yang tidak sehat dan korupsi saat ini telah menjadi hal yang biasa sehingga seseorang akan lebih mudah memilih melakukan tindak korupsi. Selain itu suburnya korupsi di Indonesia karena hukuman yang dijatuhkan pada para pelaku korupsi tidak tegas dan terkesan memihak mereka. Memberantas korupsi akan menjadi sulit bila tidak terdapat kesadaran dalam diri individu. Oleh sebab itu sebaiknya pemberantasan korupsi dimulai dengan pembentukan individu yang baik, baru kemudian dilanjutkan ke lingkungan kerja. Masyarakat maupun pemerintah harus dapat bekerja sama dalam melakukan pemberantasan korupsi, dan aturan mengenai hukuman pelaku korupsi harus bisa lebih tegas agar member efek jera pada mereka.

Teori Konflik
Teori ini dibangun di atas dasar paradigma fakta sosial. Tokoh utama dari teori konflik adalah Ralp Dahrendrof. Pada dasarnya, teori ini merupakan serangkaian pernyataan yang menentang pendapat-pendapat fungsionalis. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah sesuatu yang statis atau paling-paling dalam kondisi ekuilibrium yang terus bergerak, namun bagi Dahrendrof, setiap masyarakat tunduk pada proses-proses perubahan. Jika para fungsionalis menitikberatkan pada keteraturan masyarakat, para teoritisi konflik melihat pertentangan dan konflik pada setiap sistem sosial. Para fungsionalis berpendapat bahwa setiap elemen dalam masyarakat memberikan kontribusi pada stabilitas, sedangkan para teoritisi konflik melihat begitu banyak elemen masyarakat yang justru berperan dalam lahirnya disintegrasi dan perubahan. Teoritisi konflik melihat apa pun tatanan yang ada di tengah-tengah masyarakat tumbuh dari tekanan yang diberikan oleh beberapa orang yang berada di puncak. Dahrendrof dan para teoritisi konflik lainnya, menitikberatkan pada peran kekuasaan dalam memelihara tatanan di tengah-tengah masyarakat.
Konsep utama teori ini adalah wewenang dan posisi, yang keduanya merupakan fakta sosial. Contoh masalah sosial yang berhubungan dengan teori konflik adalah masalah kekerasan petugas Satpol PP dalam melakukan penertiban pedagang kaki lima yang masih kerap terjadi di beberapa daerah. Para petugas Satpol PP merasa mempunyai wewenang lebih serta posisi yang yang tinggi dibanding dengan para pedagang sehingga mereka melakukan kekerasan dan tindakan sewenang-wenang dalam penertiban pedagang kaki lima. Contoh tersebut dapat menggambarkan bahwa distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematik. Perbedaan wewenang merupakan suatu tanda adanya berbagai posisi dalam berbagai masyarakat. Kekuasaan dan wewenang menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur di masyarakat. Dalam kasus kekerasan Satpol PP terhadap pedagang kaki lima dapat terlihat bahwa petugas Satpol PP berada di posisi atas sedangkan pedagang kakli lima berada di posisi bawah. Adanya perbedaan posisi tersebut yang membuat petugas Satpol PP melakukan tindakan sewenang-wenang dengan dalih menjalankan tugas melakukan penertiban. Menurut teori konflik, di dalam masyarakat selalu terdapat golongan yang saling bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang dikuasai. Penguasa di digambarkan sebagai petugas Satpol PP, sedangkan golongan yang dikuasai digambarkan oleh para pedagang kaki lima. Masing-masing golongan mempunyai kepentingan yang berbeda. Petugas Satpol PP melakukan penertiban dengan maksud untuk menjaga keindahan tata kota, sedangkan pedagang kaki lima menggelar barang dagangannya di pinggir jalan untuk mencari nafkah. Dalam contoh kasus ini seharusnya pemerintah dan petugas Satpol PP melakukan pendekatan persuasive dalam melakukan penertiban pedagang kaki lima, bukan dengan kekerasan dan tindakan sewenang-wenang. Selain itu pemerintah juga seharusnya memberikan solusi yang tepat terhadap masalah maraknya pedagang kaki lima yang berjualan di tepi jalan yaitu dengan menyediakan tempat khusus bagi para pedagang kaki lima untuk berjualan. Sehingga tata kota terlihat lebih rapi dan tentunya tidak perlu ada lagi kasus kekerasan yang dilakukan oleh petugas Satpol PP.

Tokoh dari teori ini adalah George Herbert Mead, yang merupakan pemikir terpenting dalam sejarah interaksionisme simbolis, dan bukunya yang berjudul Mind, Self and Society adalah karya terpenting dalam teori ini. Bagi Mead, keseluruhan kehidupan sosial mendahului pikiran individu secara logis maupun temporer. Individu yang berpikir dan sadar diri tidak mungkin ada sebelum kelompok sosial. Kelompok sosial hadir terlebih dahulu, dan dia mengarah pada perkembangan kondisi mental sadar diri. Salah satu konsep yang diuraikan oleh Mead adalah konsep tentang Perbuatan. Mead memandang perbuatan sebagai unit paling inti dalam teorinya. Dalam menganalisis perbuatan, Mead sangat dekat dengan pendekatan behavioris dan memusatkan perhatiannya pada stimulus dan respons. Mead mengidentifikasi empat tahap dasar yang terkait satu sama lain dalam setiap perbuatan. Keempat tahap tersebut mewakili suatu keseluruhan organik. Konsep perbuatan dapat dibagi menjadi empat konsep yang satu sama lain masih saling terkait yakni impuls, persepsi, manipulasi dan konsumasi.
Tahap atau konsep yang pertama adalah impuls, yang melibatkan stimulasi indrawi langsung dan reaksi aktor terhadap stimulasi tersebut, kebutuhan untuk berbuat sesuatu. Rasa lapar dapat dijadikan contoh yang tepat bagi impuls. Seseorang dapat merespons secara langsung dan tanpa perlu berpikir, namun seseorang (manusia) lebih cenderung berpikir tentang respons yang sesuai. Dalam memikirkan respons tersebut, seseorang tidak hanya mempertimbangkan situasi terkini namun juga pengalaman masa lalu dan antisipasi terhadap akibat-akibat dari perbuatan tersebut. Bila dikaitkan dengan masalah sosial dapat dikaitkan dengan masalah pencurian yang baru-baru ini sering terjadi. Pelaku pencurian biasanya mempunyai motif untuk melakukan pencurian, motif yang paling dominan adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Para pelaku pencurian biasanya berasal dari kalangan masyarakat lapis bawah yang kehidupan sehari-harinya serba kekurangan. Seperti contoh di atas tadi, rasa lapar yang disebabkan tidak adanya uang untuk membeli makan dapat menjadi motif seseorang melakukan pencurian. Dari rasa lapar tersebut seseorang kemudian merasakan atau mengindra stimulus melalui pendengaran, penciuman, indra perasa dan lain sebagainya. Pada tahap tersebut seseorang telah memasuki tahap kedua yaitu persepsi. Pelaku pencurian akan mencari kesempatan untuk melakukan tindak kriminal dengan melihat situasi yang ada. Dimulai dengan melihat sasaran pencurian dan melihat kesempatan yang ada. Setelah melalui tahap persepsi, seseorang akan memasuki pada tahap ketiga yaitu manipulasi, atau lebih umum lagi, mengambil tindakan dalam kaitannya dengan objek yang telah dipersepsi. Seorang pelaku pencurian sebenarnya masih berpikir tentang tindakan yang akan dilakukan. Di dalam tahap ini, seseorang akan berpikir tentang pengalaman di masa lalu dan masa depan. Dan disaat seorang pelaku pencurian akhirnya memilih untuk melakukan tindak kriminal maka dia berada di tahap yang keempat yaitu konsumasi. Di mulai dari impuls sederhana karena rasa lapar akhirnya seseorang memilih melakukan tindakan pencurian.
Pencurian yang akhir-akhir ini marak terjadi merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Bahkan anak-anak kecil yang seharusnya bersekolah dan menikmati masa bermainnya harus ikut-ikut menjadi pencuri dan akhirnya harus mendekam di dalam penjara. Pencurian kecil kemungkinan terjadi jika masyarakatnya hidup sejahtera dimana kebutuhan ekonomi, sandang, papan dan pangan dapat terpenuhi. Masalah sosial yang masih belum terselesaikan ini seharusnya menjadi perhatian utama oleh pemerintah karena tidak mungkin seseorang menjadi pencuri terus-menerus hanya untuk menghilangkan rasa lapar.

Link terkait dapat diakses di http://argyo.staff.uns.ac.id/category/teori/


Daftar Pustaka
·         Ritzer, George. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta : Kreasi Wacana
·         Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
·         Kartini Kartono. 2005. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar