Sejarah Pakaian Jas
Seorang penulis buku Anne Hollander,
mengatakan bahwa kombinasi jas dan celana panjang yang membalut tubuh pria
benar-benar kelihatan “sempurna” dan jas bisa bertahan lama
karena punya daya tarik erotik yang kuat. Di matanya, setelan jas itu sexy.
Ia membandingkan jas punya nilai yang sama dengan Concorde dan Ferrari. Itu
pandangan lawan jenis saat melihat jas melekat di tubuh pria. Tapi secara
sosial jas pun punya peran sendiri, bukan sekedar benda berbentuk dan
berfungsi. Jas penah menjadi cap status sosial ketika awalnya diciptakan di
akhir abad 17, tapi pada dua abad berikutnya berubah menjadi lebih
aspiratif ketika orang mulai berpakaian dengan maksud untuk memperlihatkan jati
dirinya. Sepanjang sejarahnya jas berkonotasi dengan perkembangan sosial
dan berasimilasi dengan kebudayaan Eropa sebelum merembas ke belahan dunia mana
saja sekarang ini. Dengan perjalanan yang tidak singkat jas pada akhirnya
mengalami keterbatasan dan penyempitan peran. Ia kini sangat terkait dengan
dunia kaum pekerja dan tidak lagi dipakai sepanjang hari. Dari sisi mode,
setelan jas merupakan senjata paling ampuh bagi pria untuk menyatakan jati
dirinya sampai kemudian diadopsi kaum wanita di abad 20.
Pada bulan Oktober 1666 Raja Charles
II pertama kalinya memakai rompi dengan mantel di atasnya dan celana panjang
lebar. Mantelnya panjang sampai lutut,” tulis catatan sejarah yang dimuat
John de Greefe dalam buku Costumes et Vestons terbitan Booking
International, Paris, tahun 1989. Pengikut setia raja langsung mengadopsi baju
baru sang baginda. Model pakaian itu pun menyebar di kalangan biasa. Gaya
pakaian itu akhirnya menjadi cikal bakal setelan jas yang perjalanannya
mencapai tiga abad. Sebenarnya pada mulanya raja Inggris dan para penjahitrnya
mendapat inspirasi untuk membuat jas selutut itu dari pakaian tradisional Turki
dan Persia, berupa mantel panjang yang bentuknya semacam jubah panjang.
Sebelum menjadi berita penting di istana, mantel itu lebih dulu dipakai dalam lingkungan
militer. Mantel Turki itu juga sudah dipakai para artis dan seniman yang
kemudian membawanya masuk ke salon istana.
Sejarah mencatat, setelan jas
berkembang pesat justru karena hubungan buruk antara Inggris dan Prancis yang
berlangsung pada abad 18. Pada saat itu perseteruan kedua negara itu
bukan saja terjadi dalam isu-isu politik, tapi juga intrik pengaruh
mempengaruhi dalam soal busana. Mantel Turki yang sudah direkayasa berbentuk
jas sepanjang lutut itu kemudian dipotong pendek menjadi semacam jaket
sepinggang yang disebut waistcoat. Para penjahit istana memperkaya
pakaian itu dengan hiasan dekoratif berupa sulaman dari benang emas dan
perak. Bahkan celana pun diperlakukan sama dekoratifnya. Tidak jarang setelan
jas itu dijahit di atas bahan mewah, seperti beluduru. Ini membuat reputasi
busana Inggris itu semakin berkilau.
Berita penemuan baru itu sampai juga
di negeri musuh. Saat itu Prancis diperintah oleh Raja Louis XIV, yang
terkenal dengan ucapannya, “L’etat cest moi” atau “Negara adalah saya”.
Jelas saja raja yang sohor sebagai pecinta penampilan itu panas hati mendengar
kejayaan jas Inggris tadi. Sang raja pasang taktik untuk merendahkan nilai jas
itu sambil mengejek raja Inggris dan para penjahit istananya. Jas pendek yang
di Inggris dipakai oleh kalangan istana, justru ia wajibkan untuk dipakai
sebagai seragam tentara infantri Prancis. Tidak kurang para pelayan diharuskan
pula memakai jas pendek itu. Namun, siapa sangak ternyata jas tersebut menjadi
terkenal di kalangan bangsawan Perancis, bahkan Raja Louis XIV sendiri juga
ikut mengenakan jas tersebut.
Mulai saat itu jas kemudian
dikembangkan menjadi berbagai macam model dan warna. Jas kemudian dikembangkan
lagi oleh bangsa Inggris dengan model dan fungsi yang berbeda. Inggris merancang
jas untuk berburu dengan berkuda yang dikenal dengan nama riding coat. Dan
kemudian bentuk dan model jas semakin berkembang disesuaikan dengan selera
masyarakat, dimana bentuk jas semakin sederhana. Jas kemudian dirasakan sebagai
sesuatu yang lebih ringan untuk dipakai. Ketika lulusan Harvard Amerika mulai
masuk angkatan kerja, mereka membawa kebiasaan berbusana semasa kuliah,
yaitu celana jins, yang digabung dengan dunia kerja baru,
yaitu jas. Sejak itu setelan jas dan celana jins diterima di mana-mana sampai
sakarang.
Pada dekade 1990an orang menuju
pergantian abad. Gaya hidup semakin modern dan praktis. Pilihan pakaian semakin
ringkas. Setelan jas tidak mengalami perubahan mendasar, tapi masuknya serat
Lycra pada setelan jas membuat pakaian pria itu nyaman dan tidak kusut. Jas
semakin demokatis, dipakai segala kalangan. Globalisasi membuatnya diterima di
segala penjuru dunia. Tapi pada akhirnya setelan jas menemukan sendiri
keterbatasannya. Ia kini merupakan bentuk pakaian yang lebih mencitrakan pria
professional dan tidak lagi dipakai sepanjang hari. Selama tiga abad setelan
jas merupakan busana yang paling mendasar bagi kaum pria di Eropa sampai
akhirnya merembas ke belahan dunia mana saja. Sebuah jangka waktu yang tidak
sebentar. Kalaupun ia bisa bertahan sampai pergantian abad baru ini, itu karena
esensi pakaian pria ini terletak pada pola yang terus diulang-ulang dan
setia pada bentuk tailoring, tapi terus bergerak dan siap menerima perubahan.
Jas Kebesaran Partai Politik
Sebagai Identitas Diri
Partai politik konon
pertama kali lahir di Eropa Barat dengan latar belakang pemikiran bahwa rakyat
merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta dikutsertakan dalam proses
politik, tetapi bila ditelaah lebih lanjut, sebenarnya latar belakang lahirnya
partai politik suatu negara sangatlah kompleks. Di Inggris dan di Perancis
misalnya, partai politik dipergunakan untuk mempertahankan kepentingan kaum
bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja, sementara itu di negara lain
munculnya partai politik berkaitan dengan lahirnya pandangan hidup atau
ideologi tertentu, seperti sosialisme. Sedangkan di negara-negara jajahan,
partai politik sering dipergunakan atau didirikan dalam rangka pergerakan
nasional di luar dewan perwakilan rakyat kolonial. Pendapat yang terakhir
mengenai lahirnya partai politik seperti pantas untuk menggambarkan lahirnya
partai politik di Indonesia. Dewasa ini, dunia politik di Indonesia ramai oleh
munculnya partai politik dengan berbagai ideologi dan visi misinya. Setiap
partai politik mempunyai identitasnya sendiri mulai dari lambang partai politik
hingga warna bendera bahkan jas kebesaran partai politik tersebut.
Jas
yang awal sejarahnya adalah sebagai fashion di jaman kerajaan Inggris dan
Perancis, kini telah menjadi suatu cara berpakaian yang wajar bahkan di ranah
politik. Dalam buku-buku pengantar komunikasi, fashion, busana, pakaian,
dandanan maupun perhiasan mampu membentuk komunikasi artifaktual. Komunikasi
artifaktual biasanya didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui
pakaian dan penataan berbagai artefak, misalnya pakaian, dandanan, barang
perhiasan, kancing baju, atau furnitur di rumah. Pakaian atau fashion yang kita
pakai dapat menampilkan berbagai fungsi. Sebagai bentuk komunikasi, pakaian
dapat menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat non-verbal. Seseorang dapat
membuat kesimpulan tentang siapa kita sebagian juga melalui apa yang kita
kenakan.
Simmel
melihat fashion dan pakaian sebgai dua bentuk yakni, sebagai pagar dan sebagai
jembatan. Jika fashion (pakaian) dipandang sebagai pagar, mampu melukiskan satu
kelompok dari kelompok lain, untuk menjamin adanya satu identitas yang tetap
terpisah dari dan berbeda dengan identitas yang lain. Pernyataan Simmel
tersebut tepat jika digunakan untuk melihat identitas partai politik di
Indonesia yang salah satu unsur pembentuknya adalah jas kebesaran dengan
berbagai warna yang mewakili partai politik tersebut. Jas kebesaran tersebut
telah digunakan oleh partai politik dan elite politik sebagai salah satu
pembentuk identitasnya. Saat seorang pejabat dari suatu partai politik
mengenakan jas kebesarannya yang bewarna biru, orang awam akan segera menebak
dan mengetahui bahwa pejabat tersebut merupakan anggota dari fraksi Demokrat
yang identik dengan warna biru. Demikian pula jika seorang pejabat datang ke
suatu rapat pertemuan dengan mengenakan jas kebesaran bewarna merah, orang akan
dengan mudah menangkap bahwa pejabat tersebut berasal dari fraksi PDI yang
identik dengan warna merah. Bahkan tanpa mengenakan jas kebesaran, jika orang
awam mengenakan pakaian bewarna merah, biru atau kuning sekalipun dia bukanlah
anggota dari salah satu partai politik, orang lain akan dengan mudah mengaitkan
warna pakaiannya itu dengan partai politik yang identik dengan salah satu warna
tersebut, meskipun konteksnya hanyalah sekedar gurauan.
Pandangan
Simmel mengenai fashion (pakaian) juga melihat sebagai jembatan. Dalam
pandangannya tersebut, fashion (pakaian) memungkinkan para anggota kelompok
untuk berbagi kesamaan identitas, untuk memberikan cara atau ruang bagi
perjumpaan. Secara keseluruhan dalam hal ini, fashion (pakaian) mampu
mengambarkan satu kelompok yang membedakannya dengan kelompok lain yang pada
saat yang sama digunakan untuk mengidentifikasi kesamaan nilai di dalam satu
kelompok. Hal tersebut dapat terlihat ketika diadakan rapat atau sidang yang
mengundang berbagai partai politik. Di dalam satu ruangan kita pastinya akan
melihat berbagai warna jas kebesaran yang mewakili partainya. Mereka yang
menggunakan jas kebesaran berwarna biru akan berkumpul menjadi satu kelompok,
begitu pula mereka yang menggunakan jas kebesaran dengan warna yang berbeda.
Saat berkumpul menjadi satu mereka memberikan suatu identitas bagi kelompok
yang lain bahwa "inilah partai kami", atau dapat juga mengatakan
"hei partai biru (Demokrat) di sebelah sini".
Dari
penjelasan di atas dapat terlihat bahwa jas kebesaran yang digunakan oleh para
elite politik merupakan salah satu unsur pembentuk identitas di kalangan
masyarakat umum, dimana dengan mengenakan jas kebesaran tersebut mereka mampu
menunjukkan asal fraksi partai politik yang menjadi ideloginya. Dalam hal ini
jas yang awalnya merupakan suatu fashion dikalangan bangsawan Inggris dan
Perancis yang digunakan untuk menunjukkan status sosial, kini mengalami perubahan
terutama di dunia politik di Indonesia, yang menggunakan jas kebesaran sebagai
salah satu unsur pembentuk identitas para elite politik.
Daftar pustaka
Barnard, Malcolm. 2006. Fashion Sebagai Komunikasi : Cara
Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta :
Jalasutra
Panuju, Redi. 2009. Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta : Pustaka Book
Publisher Kelompok Penerbit Pinus
Website : http://muarabagdja.com/Isi/Sejarah/Produk/Jas.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar