Rabu, 21 September 2011

Jas Kebesaran Partai Politik Sebagai Pembentuk Identitas


Sejarah Pakaian Jas
Seorang penulis buku Anne Hollander, mengatakan bahwa kombinasi jas dan celana panjang yang membalut tubuh pria benar-benar  kelihatan “sempurna” dan  jas bisa bertahan lama  karena punya daya tarik erotik yang kuat. Di matanya, setelan jas itu sexy. Ia membandingkan jas punya nilai yang sama dengan Concorde dan Ferrari. Itu pandangan lawan jenis saat melihat jas melekat di tubuh pria. Tapi secara sosial jas pun punya peran sendiri, bukan sekedar benda berbentuk dan berfungsi. Jas penah menjadi cap status sosial ketika awalnya diciptakan di akhir abad 17, tapi pada dua abad berikutnya berubah  menjadi lebih aspiratif ketika orang mulai berpakaian dengan maksud untuk memperlihatkan jati dirinya. Sepanjang sejarahnya jas berkonotasi dengan perkembangan sosial dan berasimilasi dengan kebudayaan Eropa sebelum merembas ke belahan dunia mana saja sekarang ini.  Dengan perjalanan yang tidak singkat jas pada akhirnya mengalami keterbatasan dan penyempitan peran. Ia kini sangat terkait dengan dunia kaum pekerja dan tidak lagi dipakai sepanjang hari. Dari sisi mode, setelan jas merupakan senjata paling ampuh bagi pria untuk menyatakan jati dirinya sampai  kemudian diadopsi kaum wanita di abad 20.
Pada bulan Oktober 1666 Raja Charles II pertama kalinya memakai rompi dengan mantel di atasnya dan celana panjang lebar. Mantelnya panjang sampai lutut,”  tulis catatan sejarah yang dimuat John de Greefe dalam buku Costumes et Vestons terbitan Booking International, Paris, tahun 1989. Pengikut setia raja langsung mengadopsi baju baru sang baginda. Model pakaian itu pun menyebar di kalangan biasa. Gaya pakaian itu akhirnya menjadi cikal bakal setelan jas yang perjalanannya mencapai tiga abad. Sebenarnya pada mulanya raja Inggris dan para penjahitrnya mendapat inspirasi untuk membuat jas selutut itu dari pakaian tradisional Turki dan Persia,  berupa mantel panjang yang bentuknya semacam jubah panjang. Sebelum menjadi berita penting di istana, mantel itu lebih dulu dipakai dalam lingkungan militer. Mantel Turki itu juga sudah dipakai para artis dan seniman yang kemudian membawanya masuk ke salon istana.
Sejarah mencatat, setelan jas berkembang pesat justru karena hubungan buruk antara Inggris dan Prancis yang berlangsung pada abad 18. Pada saat itu  perseteruan kedua negara itu bukan saja terjadi dalam isu-isu politik, tapi juga intrik pengaruh mempengaruhi dalam soal busana. Mantel Turki yang sudah direkayasa berbentuk jas sepanjang lutut itu kemudian dipotong pendek menjadi semacam jaket sepinggang yang disebut waistcoat.  Para penjahit istana memperkaya pakaian itu dengan hiasan dekoratif  berupa sulaman dari benang emas dan perak. Bahkan celana pun diperlakukan sama dekoratifnya. Tidak jarang setelan jas itu dijahit di atas bahan mewah, seperti beluduru. Ini membuat reputasi busana Inggris itu semakin berkilau.
Berita penemuan baru itu sampai juga di negeri musuh. Saat itu Prancis diperintah oleh Raja Louis XIV,  yang terkenal dengan ucapannya,  “L’etat cest moi” atau “Negara adalah saya”. Jelas saja raja yang sohor sebagai pecinta penampilan itu panas hati mendengar kejayaan jas Inggris tadi. Sang raja pasang taktik untuk merendahkan nilai jas itu sambil mengejek raja Inggris dan para penjahit istananya. Jas pendek yang di Inggris dipakai oleh kalangan istana, justru ia wajibkan untuk dipakai sebagai seragam tentara infantri Prancis. Tidak kurang para pelayan diharuskan pula memakai jas pendek itu. Namun, siapa sangak ternyata jas tersebut menjadi terkenal di kalangan bangsawan Perancis, bahkan Raja Louis XIV sendiri juga ikut mengenakan jas tersebut.
Mulai saat itu jas kemudian dikembangkan menjadi berbagai macam model dan warna. Jas kemudian dikembangkan lagi oleh bangsa Inggris dengan model dan fungsi yang berbeda. Inggris merancang jas untuk berburu dengan berkuda yang dikenal dengan nama riding coat. Dan kemudian bentuk dan model jas semakin berkembang disesuaikan dengan selera masyarakat, dimana bentuk jas semakin sederhana. Jas kemudian dirasakan sebagai sesuatu yang lebih ringan untuk dipakai. Ketika lulusan Harvard Amerika mulai masuk angkatan kerja, mereka membawa kebiasaan berbusana semasa kuliah, yaitu  celana  jins,  yang digabung dengan dunia kerja baru, yaitu jas. Sejak itu setelan jas dan celana jins diterima di mana-mana sampai sakarang.
Pada dekade 1990an orang menuju pergantian abad. Gaya hidup semakin modern dan praktis. Pilihan pakaian semakin ringkas. Setelan jas tidak mengalami perubahan mendasar, tapi masuknya serat Lycra pada setelan jas membuat pakaian pria itu nyaman dan  tidak kusut. Jas semakin demokatis, dipakai segala kalangan. Globalisasi membuatnya diterima di segala penjuru dunia. Tapi pada akhirnya setelan jas menemukan sendiri keterbatasannya. Ia kini merupakan bentuk pakaian yang lebih mencitrakan pria professional dan tidak lagi dipakai sepanjang hari. Selama tiga abad setelan jas merupakan busana yang paling mendasar bagi kaum pria di Eropa sampai akhirnya merembas ke belahan dunia mana saja. Sebuah jangka waktu yang tidak sebentar. Kalaupun ia bisa bertahan sampai pergantian abad baru ini, itu karena esensi pakaian pria ini terletak pada  pola yang terus diulang-ulang dan setia pada bentuk tailoring, tapi terus bergerak dan siap menerima perubahan.



Jas Kebesaran Partai Politik Sebagai Identitas Diri
Partai politik konon pertama kali lahir di Eropa Barat dengan latar belakang pemikiran bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta dikutsertakan dalam proses politik, tetapi bila ditelaah lebih lanjut, sebenarnya latar belakang lahirnya partai politik suatu negara sangatlah kompleks. Di Inggris dan di Perancis misalnya, partai politik dipergunakan untuk mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja, sementara itu di negara lain munculnya partai politik berkaitan dengan lahirnya pandangan hidup atau ideologi tertentu, seperti sosialisme. Sedangkan di negara-negara jajahan, partai politik sering dipergunakan atau didirikan dalam rangka pergerakan nasional di luar dewan perwakilan rakyat kolonial. Pendapat yang terakhir mengenai lahirnya partai politik seperti pantas untuk menggambarkan lahirnya partai politik di Indonesia. Dewasa ini, dunia politik di Indonesia ramai oleh munculnya partai politik dengan berbagai ideologi dan visi misinya. Setiap partai politik mempunyai identitasnya sendiri mulai dari lambang partai politik hingga warna bendera bahkan jas kebesaran partai politik tersebut.
            Jas yang awal sejarahnya adalah sebagai fashion di jaman kerajaan Inggris dan Perancis, kini telah menjadi suatu cara berpakaian yang wajar bahkan di ranah politik. Dalam buku-buku pengantar komunikasi, fashion, busana, pakaian, dandanan maupun perhiasan mampu membentuk komunikasi artifaktual. Komunikasi artifaktual biasanya didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian dan penataan berbagai artefak, misalnya pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furnitur di rumah. Pakaian atau fashion yang kita pakai dapat menampilkan berbagai fungsi. Sebagai bentuk komunikasi, pakaian dapat menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat non-verbal. Seseorang dapat membuat kesimpulan tentang siapa kita sebagian juga melalui apa yang kita kenakan.
            Simmel melihat fashion dan pakaian sebgai dua bentuk yakni, sebagai pagar dan sebagai jembatan. Jika fashion (pakaian) dipandang sebagai pagar, mampu melukiskan satu kelompok dari kelompok lain, untuk menjamin adanya satu identitas yang tetap terpisah dari dan berbeda dengan identitas yang lain. Pernyataan Simmel tersebut tepat jika digunakan untuk melihat identitas partai politik di Indonesia yang salah satu unsur pembentuknya adalah jas kebesaran dengan berbagai warna yang mewakili partai politik tersebut. Jas kebesaran tersebut telah digunakan oleh partai politik dan elite politik sebagai salah satu pembentuk identitasnya. Saat seorang pejabat dari suatu partai politik mengenakan jas kebesarannya yang bewarna biru, orang awam akan segera menebak dan mengetahui bahwa pejabat tersebut merupakan anggota dari fraksi Demokrat yang identik dengan warna biru. Demikian pula jika seorang pejabat datang ke suatu rapat pertemuan dengan mengenakan jas kebesaran bewarna merah, orang akan dengan mudah menangkap bahwa pejabat tersebut berasal dari fraksi PDI yang identik dengan warna merah. Bahkan tanpa mengenakan jas kebesaran, jika orang awam mengenakan pakaian bewarna merah, biru atau kuning sekalipun dia bukanlah anggota dari salah satu partai politik, orang lain akan dengan mudah mengaitkan warna pakaiannya itu dengan partai politik yang identik dengan salah satu warna tersebut, meskipun konteksnya hanyalah sekedar gurauan.
            Pandangan Simmel mengenai fashion (pakaian) juga melihat sebagai jembatan. Dalam pandangannya tersebut, fashion (pakaian) memungkinkan para anggota kelompok untuk berbagi kesamaan identitas, untuk memberikan cara atau ruang bagi perjumpaan. Secara keseluruhan dalam hal ini, fashion (pakaian) mampu mengambarkan satu kelompok yang membedakannya dengan kelompok lain yang pada saat yang sama digunakan untuk mengidentifikasi kesamaan nilai di dalam satu kelompok. Hal tersebut dapat terlihat ketika diadakan rapat atau sidang yang mengundang berbagai partai politik. Di dalam satu ruangan kita pastinya akan melihat berbagai warna jas kebesaran yang mewakili partainya. Mereka yang menggunakan jas kebesaran berwarna biru akan berkumpul menjadi satu kelompok, begitu pula mereka yang menggunakan jas kebesaran dengan warna yang berbeda. Saat berkumpul menjadi satu mereka memberikan suatu identitas bagi kelompok yang lain bahwa "inilah partai kami", atau dapat juga mengatakan "hei partai biru (Demokrat) di sebelah sini".
            Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwa jas kebesaran yang digunakan oleh para elite politik merupakan salah satu unsur pembentuk identitas di kalangan masyarakat umum, dimana dengan mengenakan jas kebesaran tersebut mereka mampu menunjukkan asal fraksi partai politik yang menjadi ideloginya. Dalam hal ini jas yang awalnya merupakan suatu fashion dikalangan bangsawan Inggris dan Perancis yang digunakan untuk menunjukkan status sosial, kini mengalami perubahan terutama di dunia politik di Indonesia, yang menggunakan jas kebesaran sebagai salah satu unsur pembentuk identitas para elite politik.


Daftar pustaka
Barnard, Malcolm. 2006. Fashion Sebagai Komunikasi : Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta : Jalasutra
Panuju, Redi. 2009. Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher Kelompok Penerbit Pinus
Website : http://muarabagdja.com/Isi/Sejarah/Produk/Jas.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar