Sabtu, 17 Desember 2011

Jean Paul Sartre, "Existance Precede Essence"








Jean-Paul Sartre lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun. Ia adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
            Sartre mengatakan "Freedom is existence, and in it existence precedes essence." This means that what we do, how we act in our life, determines our apparent "qualities." It is not that someone tells the truth because she is honest, but rather she defines herself as honest by telling the truth again and again."
Eksistensi mendahului esensi (Existence comes before Essence) merupakan salah satu konsep penting dalam bangunan eksistensialime Sartre. Dia berupaya mengukuhkan subjektivitas manusia dan di sisi lain menendang jauh-jauh keberadaan Tuhan dengan segala argumentasi yang menyokongnya. Subjektivitas manusia dan keberadaan Tuhan seperti berada pada polaritas yang berbeda dan saling meniadakan. Untuk mengukuhkan subjektivitasnya, manusia mesti menyingkirkan Tuhankarena subjektivitas tak pernah bertoleransi dengan segala bentuk determinisme.
Eksistensi mendahului esensi adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan. Hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Tuhan yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).
Inilah prinsip pertama dari eksistensialisme. Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi, bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis. Bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme, bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan, bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia.
Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Dan, yang dipilih itu tentu apa yang dianggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi seseorang tentu juga dianggap baik untuk semua. Tanggung-jawabnya lantas terletak pada kualitas pilihan tersebut. Pilihan-pilihan yang dibuat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, akan memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya yaitu tentang humanisme.
Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya. Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan, dan kemanusiaan. Untuk itu Tuhan harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky, “Jika Tuhan tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan”. Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre.
Manusia tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk, sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan, terhitung sejak ia ada di dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre guna memberi makna pada kemanusiaan. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is”. Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia.
Namun, tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang, dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. Dan, komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi, Sartre mau membangun kerajaan manusia sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Subyektivitas, sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali, kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diri pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasan diri. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya “a human universality of condition”. Human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan pemilihan lagi, dan lagi selama hidupnya.
Sartre sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-nilai bagi manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create) nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan, penemuan nilai-nilai ini berarti bahwa tidak ada yang à priori dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum dihayati. Dan, penghayatan ini, manusia sendirilah yang menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini tak lain tak bukan adalah sesuatu yang seorang (manusia) pilih. Karenanya, menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah komunitas manusia.
Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia maksud dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang meninggikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan sebagai nilai tertinggi (supreme value). Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih harus ditentukan. Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (Comtian humanism), dan berpuncak pada Fasisme.
Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing). Dan, relasi antara transendensi manusia dengan subjektivitas (dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri, melainkan selalu hadir dalam semesta manusia). Itulah yang disebut Sartre dengan “existential humanism”. Ini disebut humanisme karena mengingatkan bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindaksecara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.



Daftar pustaka :
  • Sartre, Jean-Paul. "Existentialism Is a Humanism." Existentialism from Dostoevsky to Sartre. Ed. Walter Kaufman. Cleveland and New York: Meridian Books, 1966. 287-311.
  • Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness. Trans. Hazel Barnes. New York: Philosophical Library, 1956.
  • Fridayanti. 2006. “Tentang Manusia dalam Perspektif Ilmu Barat”. Dalam Sejarah Ilmu Pengetahuan
  • http://www.sonoma.edu/users/d/daniels/sartre%20sum.html
  • http://david-jacobs.suite101.com/existence-precedes-essence-a153242
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Jean-Paul_Sartre 
  • http://grelovejogja.wordpress.com/2007/02/15/konsep-para-filsuf-tentang-manusia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar