
Sartre
mengatakan "Freedom is existence, and in it existence precedes essence."
This means that what we do, how
we act in our life, determines our apparent "qualities." It is not
that someone tells the truth because she is honest, but rather she defines
herself as honest by telling the truth again and again."
Eksistensi mendahului
esensi (Existence comes before Essence) merupakan salah satu konsep penting
dalam bangunan eksistensialime Sartre. Dia berupaya mengukuhkan subjektivitas
manusia dan di sisi lain menendang jauh-jauh keberadaan Tuhan dengan segala
argumentasi yang menyokongnya. Subjektivitas manusia dan keberadaan Tuhan seperti
berada pada polaritas yang berbeda dan saling meniadakan. Untuk mengukuhkan
subjektivitasnya, manusia mesti menyingkirkan Tuhankarena subjektivitas tak
pernah bertoleransi dengan segala bentuk determinisme.
Eksistensi mendahului esensi adalah bahwa pertama-tama
manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu
siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum
ditentukan. Hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan
apa-apa (nothing). Dia tidak akan
menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan
sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab
tidak ada Tuhan yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).
Inilah prinsip pertama dari eksistensialisme. Manusia tak
lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa.
Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi, bahwa
manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau
meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama
eksis. Bahwa manusia adalah manusia (man
is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia
menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu
mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling
pertama dari eksistensialisme, bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol
berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu
tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia
bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan, bahwa ia bertanggungjawab
atas semua umat manusia.
Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme.
Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua
adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua
inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian
yang kedua inilah yang memberikan gambaran mengenai sifat dasar manusia yang
kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan.
Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan
yang terbentang luas di hadapannya. Dan, yang dipilih itu tentu apa yang dianggap
lebih baik, dan yang lebih baik bagi seseorang tentu juga dianggap baik untuk
semua. Tanggung-jawabnya lantas terletak pada kualitas pilihan tersebut.
Pilihan-pilihan yang dibuat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu
keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, akan memasuki dimensi kedua dari
eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya yaitu tentang humanisme.
Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan
humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak
pada radikalitasnya. Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap
belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari
luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun
norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan
tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia
libati (engagement). Baginya, tidak
akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada.
Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan, dan
kemanusiaan. Untuk itu Tuhan harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis
yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip
Dostoevsky, “Jika Tuhan tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan”.
Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre.
Manusia tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada
kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu
bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse,
manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas.
Terkutuk, sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh
bebas. Dan, terhitung sejak ia ada di dunia ini ia bertanggungjawab atas segala
sesuatu yang ia lakukan. Action
(tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre guna memberi makna
pada kemanusiaan. Dengan kata lain, “Man
is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises
himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else
but what his life is”. Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia
lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia.
Namun, tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan
tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas
dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang, dan akan dilakukannya
sepanjang hidupnya. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. Dan,
komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen
kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre
dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di
level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat
manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah
objek. Dengan mengkritik materialisme yang mendasarkan segala realitas
(termasuk manusia di dalamnya) pada materi, Sartre mau membangun kerajaan
manusia sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi.
Subyektivitas, sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa
dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Manusia tidak bisa menjadi
apapun kecuali, kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian.
Penyingkapan jati diri pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang
lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasan diri. Berkenaan
dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya “a human universality of condition”.
Human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang
melakukan tindakan pemilihan lagi, dan lagi selama hidupnya.
Sartre sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang
menciptakan nilai-nilai bagi manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create) nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan, penemuan nilai-nilai
ini berarti bahwa tidak ada yang à priori
dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum dihayati. Dan, penghayatan ini,
manusia sendirilah yang menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini
tak lain tak bukan adalah sesuatu yang seorang (manusia) pilih. Karenanya,
menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah komunitas
manusia.
Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia maksud dengan
humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang meninggikan
manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan sebagai nilai tertinggi (supreme value). Seorang eksistensialis
tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab
manusia masih harus ditentukan. Humanity yang absurd semacam ini akan
menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri
sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (Comtian humanism), dan berpuncak pada Fasisme.
Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian
bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Maka
ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam
pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian
self-surpassing). Dan, relasi antara transendensi manusia dengan subjektivitas
(dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri, melainkan
selalu hadir dalam semesta manusia). Itulah yang disebut Sartre dengan “existential humanism”. Ini disebut humanisme
karena mengingatkan bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri;
betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri.
Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari
melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi
tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah
sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi
Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada
satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang
pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu
optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk
ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk
bertindaksecara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat
manusia.
Daftar
pustaka :
- Sartre, Jean-Paul. "Existentialism Is a Humanism." Existentialism from Dostoevsky to Sartre. Ed. Walter Kaufman. Cleveland and New York: Meridian Books, 1966. 287-311.
- Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness. Trans. Hazel Barnes. New York: Philosophical Library, 1956.
- Fridayanti. 2006. “Tentang Manusia dalam Perspektif Ilmu Barat”. Dalam Sejarah Ilmu Pengetahuan
- http://www.sonoma.edu/users/d/daniels/sartre%20sum.html
- http://david-jacobs.suite101.com/existence-precedes-essence-a153242
- http://id.wikipedia.org/wiki/Jean-Paul_Sartre
- http://grelovejogja.wordpress.com/2007/02/15/konsep-para-filsuf-tentang-manusia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar