Rabu, 21 September 2011

Radio Komunitas Media Pemberdayaan Masyarakat


Radio Komunitas Angkringan
Tahun 1998 merupakan tonggak sejarah perubahan politik di Indonesia. Gelombang pembaruan menolak segala bentuk pembelengguan pemnerintah atas rakyat tak terbendung, terwakili dengan satu kata: reformasi. Denyut gelombang perubahan itu cukup menggoncang karena berpusat di jantung Indonesia, Jakarta. Hiruk pikuk reformasi yang terjadi di Jakarta ternyata tak membawa perubahan politik sedikitpun di Desa Timbulharjo. Desa yang terletak tujuh kilometer arah selatan Kota Yogyakarta itu tetap saja seperti Indonesia mini pada era sebelum 1998 : birokrasinya korup, kelas menengahnya tidak peduli (apatis), dan masyarakat akar rumputnya takut. Keadaan ini membuat sekelompok anak muda di Timbulharjo gelisah. Melihat kondisi demikian, para pemuda yang gelisah itu pun berkumpul. Lewat serangkaian obrolan di surau usai sholat tarawih, mereka bersepakat mengambil langkah nyata untuk mendorong perubahan. Tapi, langakah nyata seperti apa yang bias dilakukan? Bagaimana mungkin anak muda yang hanya belasan orang mampu mendorong perubahan di sebuah desa yang penduduknya lebih dari 20 ribu jiwa? Para pemuda itu terus mencari cara. Mereka sadar bahwa jika diibaratkan peperangan, musuh yang dihadapi terlalu kuat untuk dilawan. Dalam situasi tersebut, strategi yang paling tepat adalah gerilya. Dari berbagai gagasan yang muncul, mereka akhirnya memilih media sebagai alat pengawasan bagi masyarakat. Menyadari minimnya dana dan orang yang bersedia terlibat dalam kegiatan tersebut, bentuk media yang dianggap cocok adalah buletin yang akan diedarkan kepada warga.
Pada tanggal 14 Januari 2000, buletin warga Desa Timbulharjo terbit untuk pertama kali di Dusun Dadapan, Desa Timbulharjo. Edisi pertama dicetak sebanyak 75 eksemplar, dibiayai dengan dana hasil patungan sebesar 30 ribu rupiah, dibandingkan secara gratis kepada warga masyarakat. Pendistribusian buletin ini pada awalnya dilakukan dengan menitipkan di masjid-masjid ketika sholat Jum’at, dengan maksud memudahkan warga untuk mendapatkannya. Buletin warga Desa Timbulharjo diberi nama Angkringan yang sangat mudah terkenal serta identik dengan kehidupan masyarakat bawah, khususnya di Yogyakarta. Di warung angkringan orang dapat minum dan makan dengan harga yang sangat murah dengan sajian menu yang khas yaitu “nasi kucing” dan jahe panas. Warung angkringan bagi masyarakat Yogyakarta bukanlah sekedar tempat makan, namun juga menjadi ruang diskusi publik nyaman. Di warung angkringan orang bebas berbicara dan mengungkapkan segala uneg-unegnya tanpa rasa takut dan tekanan dari siapapun. Di luar dugaan para pelopor Buletin Angkringan, ternyata kehadiran buletin ini disambut hangat oleh warga. Melalui Buletin Angkringan yang terbit sekali dalam seminggu, warga bisa mengetahui informasi dan persoalan yang sedang terjadi disekitarnya sehingga sadar tentang arti penting sebuah informasi. Maka tak heran jika kemudian warga selalu menunggu dan menanyakan informasi terbaru dari Buletin Angkringan ini. Bahkan sejumlah warga mengusulkan agar Buletin Angkringan tidak dibagi gratis, melainkan dijual atau berlangganan. Ini dilakukan agar Buletin Angkringan bisa terus terbit. Secara bertahap, pelanggan Buletin Angkringan terus bertambah. Semula buletin yang hanya didistribusikan melalui masjid adan hanya menjangkau warga di dusun Dadapan berangsur harus memenuhi dan menjangkau seluruh di Desa Timbulharjo yang terdiri dari 16 Dusun. Kondisi ini oleh redaksi Buletin Angkringan pun direspon dengan memperbanyak oplah tiap edisinya sehingga dapat memenuhi permintaan dari warga.
Lahirnya Radio Angkringan pada perkembangannya pengurus angkringan kuwalahan melayani besarnya permintaan warga untuk berlangganan buletin karena keterbatasan jumlah personil. Periodisasi terbit sekali dalam seminggu sering kali membuat informasi yang mestinya segera diketahui warga harus tertunda. Sebagai media cetak, angkringan juga mensyaratkan kemampuan membaca bagi warga yang ingin memahami informasi yang dimuat dalam bulletin. Padahal warga Desa Timbulharjo, terutama yang berusia lanjut, banyak yang buta huruf. Berangkat dari berbagai kendala tersebut, pengurus angkringan memutuskan untuk menghadirkan media lain yang bisa melengkapi keberadaan bulletin, yaitu media radio.
Bulan Agustus 2000 Radio Angkringan resmi mengudara dengan pemancar radio bekas yang dibeli seharga 300 ribu rupiah. Peralatan radio tersebut kemudian secara bergotong royong didirikan. Menggunakan tiang antena dari bamboo dan sebagian besar peralatan berasal dari pinjaman warga, Radio Angkringan saat itu hanya bisa menjangkau sepertiga luas wilayah Desa Timbulharjo. Pada bulan Juli 2000, Buletin Angkringan mengikuti Lomba Pers Alternatif yang diadakan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) KBR68H Jakarta. Buletin Angkringan mendapat penghargaan khusus dengan kategori “Pers Desa” serta mendapat hadiah uang sebesar 2,5 juta rupiah. Dana ini digunakan untuk perbaikan dan penambahan peralatan radio hingga akhirnya seluruh wilayah Desa Timbulharjo bisa menerima siaran Radio Angkringan.
            Adapun struktur kepengurusan Radio Angkringan yaitu Sarjiman sebagai koordinator yang juga merangkap sekretaris dan bendahara, di bagian litbang Ambar Sari Dewi, Bayu dan Amron, Amrun di bidang multimedia dan web, serta Jasudi di bidang editing berita. Seluruhnya merangkap sebagai penyiar. Bentuk pemberdayaan yang dilakukan meliputi bidang budaya dan agama dengan mengadakan program macapat dan seni Sholawat Nabi bahkan program ini juga dilombakan. Di bidang politik Radio Angkringan berperan sebagai kontrol sosial dimana mensosialisasikan calon kepala desa dan programnya. Selain itu pada saat pemilihan, radio ini juga menyiarkan jalannya pemilihan dan Quick Count. Di bidang ekonomi radio ini berperan sebagai sarana promosi bagi masyarakat Timbulharjo yang memiliki usaha.


Radio Sadewa Wonolelo, Kec. Pleret, Bantul
Berawal dari sebuah Organisasi Gemilang yang terdiri 4 RT dan dipecah menjadi beberapa seksi yang memiliki keinginan membuat satu perubahan yang belum ada yaitu media untuk mengekspresikan diri. Sekitar 50 orang pemuda mensosialisasikan gagasan tentang berdirinya Radio Komunitas di 8 dusun. Meskipun banyak respon bermunculan, namun hampir 90% warga setuju. Saat itulah mereka tergerak untuk terus mewujudkan keinginan mendirikan Radio Komunitas. Namun diawal berdirinya, ada beberapa masalah yaitu tidak ada seorang pun warga yang mengerti tentang radio dan ketidak-tersediaannya dana untuk mendirikan Radio Komunitas ini. Kemudian mereka bertemu dengan NGO (LSM) dan mendapat dukungan berupa peralatan. Ketika Radio Komunitas ini mulai mengudara mulai muncul berbagai hambatan, salah satunya di bidang SDM dimana mereka tidak menguasai teknik kepenyiaran. Kemudian mereka meminta bantuan kepada Radio UNISI FM Yogyakarta untuk memberikan pelatihan dasar-dasar ilmu kepenyiaran yang dibutuhkan.
Radio Komunitas yang akhirnya diberi nama Sadewa ini bergerak di bidang kepemudaan dan lingkungan. Pada awalnya, melalui radio ini mereka mencoba mengkritik perangkat desa yang kurang memperhatikan keberadaan Karang Taruna di Desa Wonolelo. Salah satu media untuk menyalurkan kritikan tersebut adalah melalui tulisan di mading yang terbit satu bulan sekali. Selain itu, berawal dari kesadaran tentang letak geografis tempat tinggal mereka yang rawan akan longsor dan diperparah oleh perilaku masyarakat diluar Desa Wonolelo yang berburu dan menebang pohon membuat Radio Sadewa mengangkat isu mengenai lingkungan. Program awal yang dilakukan Radio Sadewa mengajak masyarakat melakukan reboisasi dengan menanam 3000 pohon.
Seiring berjalannya waktu untuk meningkatkan kualitas siaran, Radio Sadewa mengemas beberapa program. Salah satunya program yang digagas oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dengan berperan sebagai media informasi dan komunikasi aktivitas perempuan di lima desa di Bantul. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga terkait di bidang kesehatan yang bekerja sama dengan puskesmas. Rencana kedepan Radio Sadewa akan menyiarkan kegiatan warga sekitar seperti rapat RT, acara pernikahan warga, pemakaman warga dan sebagainya sehingga warga tahu kegiatan apa yang dilaksanakan di desanya. Dengan keberadaan Radio Sadewa ini muncul dampak positif dan negatif. Dampak positif yang muncul yakni warga semakin rutin berkumpul dan berperan sebagai media untuk memerangi narkoba. Namun demikian dampak negatifnya membuat warga lupa waktu.

Komentar
Pemberdayaan masyarakat tidak dapat hanya dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan saja, tetapi harus lebih pada praktek dilapangan yang memang benar-benar mampu untuk memberdayakan masyarakat. Hal tersebut telah dilakukan oleh radio komunitas angkringan dan sadewa. Melalui kedua radio komunitas tersebut, mereka dapat dibilang telah berhasil dalam usahanya memberdayakan masyarakat. Meskipun kedua radio komunitas tersebut mempunyai perbedaan dalam aspek yang ingin diberdayakan, namun keberadaan mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat ini yang lebih membutuhkan aksi nyata ketimbang hanya sekedar teori. Radio angkringan yang fokus pada isu-isu politik, ekonomi, budaya, agama dan sosial mampu memberdayakan Timbulharjo melalui buletin yang mereka buat. Ide mereka untuk membuat buletin sangat menarik karena dengan adanya buletin, masyarakat timbulharjo mampu mengetahui peristiwa atau informasi seputar desa mereka, dan buletin yang dibagikan kepada masyarakat gratis sehingga tidak akan memberatkan masyarakat. Selain melalui buletin radio angkringan juga mampu menunjukkan bahwa melalui program radio yang mereka buat, mampu memberikan perubahan positif bagi kemajuan desa Timbulharjo di segala bidang. Dengan menyiarkan secara langsung pemilihan kepala desa, masyarakat diajak untuk mampu berpikir kritis terhadap pemerintah setempat, baik dalam segi kebijakan yang dibuat maupun dari segi pelayanan kepada masyarakatnya. Hal tersebut sangatlah bagus karena masyarakat desa pada khususnya, dianggap tidak mengetahui apa-apa soal politik sehingga seakan-akan mudah dibodohi, dan keberdaan radio angkringan tersebut telah mampu memberikan informasi dan pembelajaran dalam bidang politik di masyarakat desa Timbuljharjo. Prestasi lain yang dapat di acungi jempol adalah radio angkringan juga memberdayakan masyarakat Timbulharjo dalam aspek agama dan budaya. Hal tersebut dapat terlihat dengan program acara sholawat dan tembang macapat yang disiarkan bahkan untuk sholawat sampai dilombakan. Itu sangat baik sekali karena masyarakat saat ini sudah sebagian yang mulai melupakan budaya lokal, dan dengan program tersebut masyarakat diajak untuk mampu mempertahankan budaya lokal yang ada. Selain radio angkringan ada juga radio sadewa yang lebih tertarik di bidang lingkungan. Melalui program-program yang di buat, radio sadewa ingin menyadarkan dan memberdayakan lingkungan yang terdapat di sekitar masyarakat. Hal tersebut sangatlah bagus karena pada saat ini keadaan alam di sekitar kita sangatlah memprihatinkan dengan kerusakan diberbagai tempat. Melalui program-program yang digagas oleh radio sadewa tentu saja masyarakat menjadi lebih terberdaya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan di sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar