Radio Komunitas Angkringan
Tahun 1998 merupakan
tonggak sejarah perubahan politik di Indonesia. Gelombang pembaruan menolak
segala bentuk pembelengguan pemnerintah atas rakyat tak terbendung, terwakili
dengan satu kata: reformasi. Denyut gelombang perubahan itu cukup menggoncang
karena berpusat di jantung Indonesia, Jakarta. Hiruk pikuk reformasi yang
terjadi di Jakarta ternyata tak membawa perubahan politik sedikitpun di Desa
Timbulharjo. Desa yang terletak tujuh kilometer arah selatan Kota Yogyakarta
itu tetap saja seperti Indonesia mini pada era sebelum 1998 : birokrasinya
korup, kelas menengahnya tidak peduli (apatis), dan masyarakat akar rumputnya
takut. Keadaan ini membuat sekelompok anak muda di Timbulharjo gelisah. Melihat
kondisi demikian, para pemuda yang gelisah itu pun berkumpul. Lewat serangkaian
obrolan di surau usai sholat tarawih, mereka bersepakat mengambil langkah nyata
untuk mendorong perubahan. Tapi, langakah nyata seperti apa yang bias
dilakukan? Bagaimana mungkin anak muda yang hanya belasan orang mampu mendorong
perubahan di sebuah desa yang penduduknya lebih dari 20 ribu jiwa? Para pemuda itu
terus mencari cara. Mereka sadar bahwa jika diibaratkan peperangan, musuh yang
dihadapi terlalu kuat untuk dilawan. Dalam situasi tersebut, strategi yang
paling tepat adalah gerilya. Dari berbagai gagasan yang muncul, mereka akhirnya
memilih media sebagai alat pengawasan bagi masyarakat. Menyadari minimnya dana
dan orang yang bersedia terlibat dalam kegiatan tersebut, bentuk media yang
dianggap cocok adalah buletin yang akan diedarkan kepada warga.
Pada tanggal 14 Januari
2000, buletin warga Desa Timbulharjo terbit untuk pertama kali di Dusun
Dadapan, Desa Timbulharjo. Edisi pertama dicetak sebanyak 75 eksemplar,
dibiayai dengan dana hasil patungan sebesar 30 ribu rupiah, dibandingkan secara
gratis kepada warga masyarakat. Pendistribusian buletin ini pada awalnya
dilakukan dengan menitipkan di masjid-masjid ketika sholat Jum’at, dengan
maksud memudahkan warga untuk mendapatkannya. Buletin warga Desa Timbulharjo diberi
nama Angkringan yang sangat mudah terkenal serta identik dengan kehidupan masyarakat
bawah, khususnya di Yogyakarta. Di warung angkringan orang dapat minum dan
makan dengan harga yang sangat murah dengan sajian menu yang khas yaitu “nasi kucing”
dan jahe panas. Warung angkringan bagi masyarakat Yogyakarta bukanlah sekedar
tempat makan, namun juga menjadi ruang diskusi publik nyaman. Di warung
angkringan orang bebas berbicara dan mengungkapkan segala uneg-unegnya tanpa
rasa takut dan tekanan dari siapapun. Di luar dugaan para pelopor Buletin
Angkringan, ternyata kehadiran buletin ini disambut hangat oleh warga. Melalui
Buletin Angkringan yang terbit sekali dalam seminggu, warga bisa mengetahui
informasi dan persoalan yang sedang terjadi disekitarnya sehingga sadar tentang
arti penting sebuah informasi. Maka tak heran jika kemudian warga selalu
menunggu dan menanyakan informasi terbaru dari Buletin Angkringan ini. Bahkan
sejumlah warga mengusulkan agar Buletin Angkringan tidak dibagi gratis, melainkan
dijual atau berlangganan. Ini dilakukan agar Buletin Angkringan bisa terus
terbit. Secara bertahap, pelanggan Buletin Angkringan terus bertambah. Semula buletin
yang hanya didistribusikan melalui masjid adan hanya menjangkau warga di dusun
Dadapan berangsur harus memenuhi dan menjangkau seluruh di Desa Timbulharjo
yang terdiri dari 16 Dusun. Kondisi ini oleh redaksi Buletin Angkringan pun
direspon dengan memperbanyak oplah tiap edisinya sehingga dapat memenuhi
permintaan dari warga.
Lahirnya Radio Angkringan
pada perkembangannya pengurus angkringan kuwalahan melayani besarnya permintaan
warga untuk berlangganan buletin karena keterbatasan jumlah personil. Periodisasi
terbit sekali dalam seminggu sering kali membuat informasi yang mestinya segera
diketahui warga harus tertunda. Sebagai media cetak, angkringan juga
mensyaratkan kemampuan membaca bagi warga yang ingin memahami informasi yang
dimuat dalam bulletin. Padahal warga Desa Timbulharjo, terutama yang berusia
lanjut, banyak yang buta huruf. Berangkat dari berbagai kendala tersebut,
pengurus angkringan memutuskan untuk menghadirkan media lain yang bisa
melengkapi keberadaan bulletin, yaitu media radio.
Bulan Agustus 2000
Radio Angkringan resmi mengudara dengan pemancar radio bekas yang dibeli seharga
300 ribu rupiah. Peralatan radio tersebut kemudian secara bergotong royong
didirikan. Menggunakan tiang antena dari bamboo dan sebagian besar peralatan
berasal dari pinjaman warga, Radio Angkringan saat itu hanya bisa menjangkau
sepertiga luas wilayah Desa Timbulharjo. Pada bulan Juli 2000, Buletin
Angkringan mengikuti Lomba Pers Alternatif yang diadakan oleh Institut Studi
Arus Informasi (ISAI) KBR68H Jakarta. Buletin Angkringan mendapat penghargaan
khusus dengan kategori “Pers Desa” serta mendapat hadiah uang sebesar 2,5 juta
rupiah. Dana ini digunakan untuk perbaikan dan penambahan peralatan radio
hingga akhirnya seluruh wilayah Desa Timbulharjo bisa menerima siaran Radio
Angkringan.
Adapun
struktur kepengurusan Radio Angkringan yaitu Sarjiman sebagai koordinator yang
juga merangkap sekretaris dan bendahara, di bagian litbang Ambar Sari Dewi,
Bayu dan Amron, Amrun di bidang multimedia dan web, serta Jasudi di bidang
editing berita. Seluruhnya merangkap sebagai penyiar. Bentuk pemberdayaan yang
dilakukan meliputi bidang budaya dan agama dengan mengadakan program macapat
dan seni Sholawat Nabi bahkan program ini juga dilombakan. Di bidang politik Radio
Angkringan berperan sebagai kontrol sosial dimana mensosialisasikan calon
kepala desa dan programnya. Selain itu pada saat pemilihan, radio ini juga
menyiarkan jalannya pemilihan dan Quick Count. Di bidang ekonomi radio ini
berperan sebagai sarana promosi bagi masyarakat Timbulharjo yang memiliki
usaha.
Radio Sadewa Wonolelo, Kec. Pleret, Bantul
Radio Sadewa Wonolelo, Kec. Pleret, Bantul
Berawal dari sebuah Organisasi
Gemilang yang terdiri 4 RT dan dipecah menjadi beberapa seksi yang memiliki keinginan
membuat satu perubahan yang belum ada yaitu media untuk mengekspresikan diri.
Sekitar 50 orang pemuda mensosialisasikan gagasan tentang berdirinya Radio
Komunitas di 8 dusun. Meskipun banyak respon bermunculan, namun hampir 90%
warga setuju. Saat itulah mereka tergerak untuk terus mewujudkan keinginan mendirikan
Radio Komunitas. Namun diawal berdirinya, ada beberapa masalah yaitu tidak ada
seorang pun warga yang mengerti tentang radio dan ketidak-tersediaannya dana
untuk mendirikan Radio Komunitas ini. Kemudian mereka bertemu dengan NGO (LSM)
dan mendapat dukungan berupa peralatan. Ketika Radio Komunitas ini mulai
mengudara mulai muncul berbagai hambatan, salah satunya di bidang SDM dimana
mereka tidak menguasai teknik kepenyiaran. Kemudian mereka meminta bantuan kepada
Radio UNISI FM Yogyakarta untuk memberikan pelatihan dasar-dasar ilmu
kepenyiaran yang dibutuhkan.
Radio Komunitas yang
akhirnya diberi nama Sadewa ini bergerak di bidang kepemudaan dan lingkungan.
Pada awalnya, melalui radio ini mereka mencoba mengkritik perangkat desa yang
kurang memperhatikan keberadaan Karang Taruna di Desa Wonolelo. Salah satu
media untuk menyalurkan kritikan tersebut adalah melalui tulisan di mading yang
terbit satu bulan sekali. Selain itu, berawal dari kesadaran tentang letak
geografis tempat tinggal mereka yang rawan akan longsor dan diperparah oleh
perilaku masyarakat diluar Desa Wonolelo yang berburu dan menebang pohon membuat
Radio Sadewa mengangkat isu mengenai lingkungan. Program awal yang dilakukan
Radio Sadewa mengajak masyarakat melakukan reboisasi dengan menanam 3000 pohon.
Seiring berjalannya
waktu untuk meningkatkan kualitas siaran, Radio Sadewa mengemas beberapa
program. Salah satunya program yang digagas oleh Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dengan berperan sebagai media informasi dan komunikasi aktivitas
perempuan di lima desa di Bantul. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga
terkait di bidang kesehatan yang bekerja sama dengan puskesmas. Rencana kedepan
Radio Sadewa akan menyiarkan kegiatan warga sekitar seperti rapat RT, acara
pernikahan warga, pemakaman warga dan sebagainya sehingga warga tahu kegiatan
apa yang dilaksanakan di desanya. Dengan keberadaan Radio Sadewa ini muncul
dampak positif dan negatif. Dampak positif yang muncul yakni warga semakin
rutin berkumpul dan berperan sebagai media untuk memerangi narkoba. Namun
demikian dampak negatifnya membuat warga lupa waktu.
Komentar
Pemberdayaan
masyarakat tidak dapat hanya dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan saja,
tetapi harus lebih pada praktek dilapangan yang memang benar-benar mampu untuk
memberdayakan masyarakat. Hal tersebut telah dilakukan oleh radio komunitas
angkringan dan sadewa. Melalui kedua radio komunitas tersebut, mereka dapat
dibilang telah berhasil dalam usahanya memberdayakan masyarakat. Meskipun kedua
radio komunitas tersebut mempunyai perbedaan dalam aspek yang ingin
diberdayakan, namun keberadaan mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat
ini yang lebih membutuhkan aksi nyata ketimbang hanya sekedar teori. Radio
angkringan yang fokus pada isu-isu politik, ekonomi, budaya, agama dan sosial
mampu memberdayakan Timbulharjo melalui buletin yang mereka buat. Ide mereka
untuk membuat buletin sangat menarik karena dengan adanya buletin, masyarakat
timbulharjo mampu mengetahui peristiwa atau informasi seputar desa mereka, dan
buletin yang dibagikan kepada masyarakat gratis sehingga tidak akan memberatkan
masyarakat. Selain melalui buletin radio angkringan juga mampu menunjukkan
bahwa melalui program radio yang mereka buat, mampu memberikan perubahan
positif bagi kemajuan desa Timbulharjo di segala bidang. Dengan menyiarkan
secara langsung pemilihan kepala desa, masyarakat diajak untuk mampu berpikir
kritis terhadap pemerintah setempat, baik dalam segi kebijakan yang dibuat
maupun dari segi pelayanan kepada masyarakatnya. Hal tersebut sangatlah bagus
karena masyarakat desa pada khususnya, dianggap tidak mengetahui apa-apa soal
politik sehingga seakan-akan mudah dibodohi, dan keberdaan radio angkringan
tersebut telah mampu memberikan informasi dan pembelajaran dalam bidang politik
di masyarakat desa Timbuljharjo. Prestasi lain yang dapat di acungi jempol adalah
radio angkringan juga memberdayakan masyarakat Timbulharjo dalam aspek agama
dan budaya. Hal tersebut dapat terlihat dengan program acara sholawat dan
tembang macapat yang disiarkan bahkan untuk sholawat sampai dilombakan. Itu
sangat baik sekali karena masyarakat saat ini sudah sebagian yang mulai
melupakan budaya lokal, dan dengan program tersebut masyarakat diajak untuk
mampu mempertahankan budaya lokal yang ada. Selain radio angkringan ada juga
radio sadewa yang lebih tertarik di bidang lingkungan. Melalui program-program
yang di buat, radio sadewa ingin menyadarkan dan memberdayakan lingkungan yang
terdapat di sekitar masyarakat. Hal tersebut sangatlah bagus karena pada saat
ini keadaan alam di sekitar kita sangatlah memprihatinkan dengan kerusakan diberbagai
tempat. Melalui program-program yang digagas oleh radio sadewa tentu saja
masyarakat menjadi lebih terberdaya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan
di sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar