Teori
Fungsionalisme Struktural
Teori
fungsional tentang stratifikasi seperti yang dikemukakan oleh Kingsley Davis
dan Wilbert Moore merupakan salah satu karya paling terkenal dalam teori
fungsionalisme struktural. Davis dan Moore menjelaskan bahwa mereka memandang
stratifikasi sosial sebagai sesuatu yang universal dan niscaya. Bagi mereka
tidak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi, atau sepenuhnya tanpa kelas.
Stratifikasi, menurut pandangan mereka, adalah keniscayaan fungsional. Semua
masyarakat membutuhkan sistem semacam itu, dan kebutuhan itu terwujud dalam
sistem stratifikasi. Mereka juga memandang sistem stratifikasi sebagai
struktur, dengan menegaskan bahwa stratifikasi tidak hanya berarti individu
dalam sistem stratifikasi namun juga sistem posisi. Isu fungsional utamanya
adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan orang-orang pada posisi
“tepat” dalam sistem stratifikasi. Namun demikian melalui posisi tersebut
seorang yang terpilih dapat menyalahgunakan posisinya. Contoh kasus yang dapat
menggambarkan hal tersebut adalah penyalahgunaan posisi sebagai pejabat untuk
melakukan tindak korupsi.
Tindakan korupsi yang dilakukan oleh
pejabat pemerintahan bukanlah hal yang mengejutkan dewasa ini. Berita-berita
tentang tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat seperti sudah biasa
bagi masyarakat di Indonesia. Para pejabat yang diberi kepercayaan penuh oleh
masyarakat lebih memilih menyalahgunakan jabatannya untuk mengeruk materi
sebanyak-banyaknya daripada memikirkan dan mengusakan kesejahteraan bagi rakyat
kecil. Seseorang melakukan tindak korupsi karena mereka mempynyai jabatan yang
penting di dalam masyarakat. Dengan jabatan yang tinggi mereka dapat dengan
mudah memanipulasi data-data yang ada, selain itu mereka juga dapat dengan mudah
memerintahkan bawahannya untuk meuruti apa yang menjadi keinginannya. Berdasarkan
teori fungsional tentang stratifikasi, seseorang yang semakin tinggi tingkat
stratifikasi maka orang tersebut akan lebih mempunyai kekuasaan untuk mengatur
orang yang posisinya lebih rendah. Mereka yang berada di posisi atas akan
mempunyai tanggungjawab yang sangat besar, dan tuntutan pekerjaan yang semakin
berat dijadikan alasan oleh mereka untuk membenarkan tindakan korupsi yang
dilakukannya. Menurut Davis dan Moore, untuk meyakinkan seseorang agar mau
menempati posisi yang tinggi dengan tanggungjawab yang besar, individu-individu
harus memberikan imbalan berupa prestise yang cukup tinggi, gaji tinggi dan
kenyamanan yang memadai. Namun demikian, pada kenyataannya imbalan yang besar
tidaklah cukup untuk menjamin kinerja mereka maksimal. Karena kenyataan yang
terjadi sekarang, para pejabat lebih sibuk mencari akal untuk melakukan korupsi
daripada mencari ide untuk memberantas kemiskinan dan masalah sosial lainnya di
masyarakat. Tindak korupsi dapat terjadi bukan hanya karena sifat individu yang
serakah, namun juga dikarenakan iklim atau lingkungan kerja yang tidak sehat
dan korupsi saat ini telah menjadi hal yang biasa sehingga seseorang akan lebih
mudah memilih melakukan tindak korupsi. Selain itu suburnya korupsi di
Indonesia karena hukuman yang dijatuhkan pada para pelaku korupsi tidak tegas
dan terkesan memihak mereka. Memberantas korupsi akan menjadi sulit bila tidak
terdapat kesadaran dalam diri individu. Oleh sebab itu sebaiknya pemberantasan
korupsi dimulai dengan pembentukan individu yang baik, baru kemudian
dilanjutkan ke lingkungan kerja. Masyarakat maupun pemerintah harus dapat
bekerja sama dalam melakukan pemberantasan korupsi, dan aturan mengenai hukuman
pelaku korupsi harus bisa lebih tegas agar member efek jera pada mereka.
Teori
Konflik
Teori
ini dibangun di atas dasar paradigma fakta sosial. Tokoh utama dari teori
konflik adalah Ralp Dahrendrof. Pada dasarnya, teori ini merupakan serangkaian
pernyataan yang menentang pendapat-pendapat fungsionalis. Menurut para
fungsionalis, masyarakat adalah sesuatu yang statis atau paling-paling dalam
kondisi ekuilibrium yang terus bergerak, namun bagi Dahrendrof, setiap
masyarakat tunduk pada proses-proses perubahan. Jika para fungsionalis
menitikberatkan pada keteraturan masyarakat, para teoritisi konflik melihat
pertentangan dan konflik pada setiap sistem sosial. Para fungsionalis
berpendapat bahwa setiap elemen dalam masyarakat memberikan kontribusi pada
stabilitas, sedangkan para teoritisi konflik melihat begitu banyak elemen
masyarakat yang justru berperan dalam lahirnya disintegrasi dan perubahan.
Teoritisi konflik melihat apa pun tatanan yang ada di tengah-tengah masyarakat
tumbuh dari tekanan yang diberikan oleh beberapa orang yang berada di puncak.
Dahrendrof dan para teoritisi konflik lainnya, menitikberatkan pada peran
kekuasaan dalam memelihara tatanan di tengah-tengah masyarakat.
Konsep
utama teori ini adalah wewenang dan posisi, yang keduanya merupakan fakta
sosial. Contoh masalah sosial yang berhubungan dengan teori konflik adalah
masalah kekerasan petugas Satpol PP dalam melakukan penertiban pedagang kaki
lima yang masih kerap terjadi di beberapa daerah. Para petugas Satpol PP merasa
mempunyai wewenang lebih serta posisi yang yang tinggi dibanding dengan para
pedagang sehingga mereka melakukan kekerasan dan tindakan sewenang-wenang dalam
penertiban pedagang kaki lima. Contoh tersebut dapat menggambarkan bahwa
distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata menjadi faktor yang
menentukan konflik sosial secara sistematik. Perbedaan wewenang merupakan suatu
tanda adanya berbagai posisi dalam berbagai masyarakat. Kekuasaan dan wewenang
menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur di
masyarakat. Dalam kasus kekerasan Satpol PP terhadap pedagang kaki lima dapat
terlihat bahwa petugas Satpol PP berada di posisi atas sedangkan pedagang kakli
lima berada di posisi bawah. Adanya perbedaan posisi tersebut yang membuat
petugas Satpol PP melakukan tindakan sewenang-wenang dengan dalih menjalankan
tugas melakukan penertiban. Menurut teori konflik, di dalam masyarakat selalu
terdapat golongan yang saling bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang
dikuasai. Penguasa di digambarkan sebagai petugas Satpol PP, sedangkan golongan
yang dikuasai digambarkan oleh para pedagang kaki lima. Masing-masing golongan
mempunyai kepentingan yang berbeda. Petugas Satpol PP melakukan penertiban
dengan maksud untuk menjaga keindahan tata kota, sedangkan pedagang kaki lima
menggelar barang dagangannya di pinggir jalan untuk mencari nafkah. Dalam
contoh kasus ini seharusnya pemerintah dan petugas Satpol PP melakukan
pendekatan persuasive dalam melakukan penertiban pedagang kaki lima, bukan
dengan kekerasan dan tindakan sewenang-wenang. Selain itu pemerintah juga
seharusnya memberikan solusi yang tepat terhadap masalah maraknya pedagang kaki
lima yang berjualan di tepi jalan yaitu dengan menyediakan tempat khusus bagi
para pedagang kaki lima untuk berjualan. Sehingga tata kota terlihat lebih rapi
dan tentunya tidak perlu ada lagi kasus kekerasan yang dilakukan oleh petugas
Satpol PP.
Tokoh
dari teori ini adalah George Herbert Mead, yang merupakan pemikir terpenting
dalam sejarah interaksionisme simbolis, dan bukunya yang berjudul Mind, Self
and Society adalah karya terpenting dalam teori ini. Bagi Mead, keseluruhan
kehidupan sosial mendahului pikiran individu secara logis maupun temporer.
Individu yang berpikir dan sadar diri tidak mungkin ada sebelum kelompok
sosial. Kelompok sosial hadir terlebih dahulu, dan dia mengarah pada
perkembangan kondisi mental sadar diri. Salah satu konsep yang diuraikan oleh
Mead adalah konsep tentang Perbuatan. Mead memandang perbuatan sebagai unit
paling inti dalam teorinya. Dalam menganalisis perbuatan, Mead sangat dekat
dengan pendekatan behavioris dan memusatkan perhatiannya pada stimulus dan
respons. Mead mengidentifikasi empat tahap dasar yang terkait satu sama lain
dalam setiap perbuatan. Keempat tahap tersebut mewakili suatu keseluruhan
organik. Konsep perbuatan dapat dibagi menjadi empat konsep yang satu sama lain
masih saling terkait yakni impuls, persepsi, manipulasi dan konsumasi.
Tahap
atau konsep yang pertama adalah impuls, yang melibatkan stimulasi indrawi
langsung dan reaksi aktor terhadap stimulasi tersebut, kebutuhan untuk berbuat
sesuatu. Rasa lapar dapat dijadikan contoh yang tepat bagi impuls. Seseorang
dapat merespons secara langsung dan tanpa perlu berpikir, namun seseorang
(manusia) lebih cenderung berpikir tentang respons yang sesuai. Dalam
memikirkan respons tersebut, seseorang tidak hanya mempertimbangkan situasi
terkini namun juga pengalaman masa lalu dan antisipasi terhadap akibat-akibat
dari perbuatan tersebut. Bila dikaitkan dengan masalah sosial dapat dikaitkan
dengan masalah pencurian yang baru-baru ini sering terjadi. Pelaku pencurian
biasanya mempunyai motif untuk melakukan pencurian, motif yang paling dominan
adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Para
pelaku pencurian biasanya berasal dari kalangan masyarakat lapis bawah yang
kehidupan sehari-harinya serba kekurangan. Seperti contoh di atas tadi, rasa
lapar yang disebabkan tidak adanya uang untuk membeli makan dapat menjadi motif
seseorang melakukan pencurian. Dari rasa lapar tersebut seseorang kemudian
merasakan atau mengindra stimulus melalui pendengaran, penciuman, indra perasa
dan lain sebagainya. Pada tahap tersebut seseorang telah memasuki tahap kedua
yaitu persepsi. Pelaku pencurian akan mencari kesempatan untuk melakukan tindak
kriminal dengan melihat situasi yang ada. Dimulai dengan melihat sasaran
pencurian dan melihat kesempatan yang ada. Setelah melalui tahap persepsi,
seseorang akan memasuki pada tahap ketiga yaitu manipulasi, atau lebih umum
lagi, mengambil tindakan dalam kaitannya dengan objek yang telah dipersepsi.
Seorang pelaku pencurian sebenarnya masih berpikir tentang tindakan yang akan
dilakukan. Di dalam tahap ini, seseorang akan berpikir tentang pengalaman di
masa lalu dan masa depan. Dan disaat seorang pelaku pencurian akhirnya memilih
untuk melakukan tindak kriminal maka dia berada di tahap yang keempat yaitu
konsumasi. Di mulai dari impuls sederhana karena rasa lapar akhirnya seseorang
memilih melakukan tindakan pencurian.
Pencurian
yang akhir-akhir ini marak terjadi merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam
mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Bahkan anak-anak kecil yang seharusnya
bersekolah dan menikmati masa bermainnya harus ikut-ikut menjadi pencuri dan
akhirnya harus mendekam di dalam penjara. Pencurian kecil kemungkinan terjadi
jika masyarakatnya hidup sejahtera dimana kebutuhan ekonomi, sandang, papan dan
pangan dapat terpenuhi. Masalah sosial yang masih belum terselesaikan ini
seharusnya menjadi perhatian utama oleh pemerintah karena tidak mungkin
seseorang menjadi pencuri terus-menerus hanya untuk menghilangkan rasa lapar.
Link terkait dapat diakses di http://argyo.staff.uns.ac.id/category/teori/
Daftar
Pustaka
·
Ritzer, George. 2008. Teori Sosiologi.
Yogyakarta : Kreasi Wacana
·
Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya
Pemecahannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
·
Kartini
Kartono. 2005. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada