Sabtu, 17 Desember 2011

Jean Paul Sartre, "Existance Precede Essence"








Jean-Paul Sartre lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun. Ia adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
            Sartre mengatakan "Freedom is existence, and in it existence precedes essence." This means that what we do, how we act in our life, determines our apparent "qualities." It is not that someone tells the truth because she is honest, but rather she defines herself as honest by telling the truth again and again."
Eksistensi mendahului esensi (Existence comes before Essence) merupakan salah satu konsep penting dalam bangunan eksistensialime Sartre. Dia berupaya mengukuhkan subjektivitas manusia dan di sisi lain menendang jauh-jauh keberadaan Tuhan dengan segala argumentasi yang menyokongnya. Subjektivitas manusia dan keberadaan Tuhan seperti berada pada polaritas yang berbeda dan saling meniadakan. Untuk mengukuhkan subjektivitasnya, manusia mesti menyingkirkan Tuhankarena subjektivitas tak pernah bertoleransi dengan segala bentuk determinisme.
Eksistensi mendahului esensi adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan. Hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Tuhan yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).
Inilah prinsip pertama dari eksistensialisme. Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi, bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis. Bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme, bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan, bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia.
Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Dan, yang dipilih itu tentu apa yang dianggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi seseorang tentu juga dianggap baik untuk semua. Tanggung-jawabnya lantas terletak pada kualitas pilihan tersebut. Pilihan-pilihan yang dibuat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, akan memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya yaitu tentang humanisme.
Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya. Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan, dan kemanusiaan. Untuk itu Tuhan harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky, “Jika Tuhan tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan”. Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre.
Manusia tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk, sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan, terhitung sejak ia ada di dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre guna memberi makna pada kemanusiaan. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is”. Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia.
Namun, tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang, dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. Dan, komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi, Sartre mau membangun kerajaan manusia sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Subyektivitas, sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali, kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diri pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasan diri. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya “a human universality of condition”. Human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan pemilihan lagi, dan lagi selama hidupnya.
Sartre sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-nilai bagi manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create) nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan, penemuan nilai-nilai ini berarti bahwa tidak ada yang à priori dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum dihayati. Dan, penghayatan ini, manusia sendirilah yang menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini tak lain tak bukan adalah sesuatu yang seorang (manusia) pilih. Karenanya, menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah komunitas manusia.
Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia maksud dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang meninggikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan sebagai nilai tertinggi (supreme value). Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih harus ditentukan. Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (Comtian humanism), dan berpuncak pada Fasisme.
Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing). Dan, relasi antara transendensi manusia dengan subjektivitas (dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri, melainkan selalu hadir dalam semesta manusia). Itulah yang disebut Sartre dengan “existential humanism”. Ini disebut humanisme karena mengingatkan bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindaksecara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.



Daftar pustaka :
  • Sartre, Jean-Paul. "Existentialism Is a Humanism." Existentialism from Dostoevsky to Sartre. Ed. Walter Kaufman. Cleveland and New York: Meridian Books, 1966. 287-311.
  • Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness. Trans. Hazel Barnes. New York: Philosophical Library, 1956.
  • Fridayanti. 2006. “Tentang Manusia dalam Perspektif Ilmu Barat”. Dalam Sejarah Ilmu Pengetahuan
  • http://www.sonoma.edu/users/d/daniels/sartre%20sum.html
  • http://david-jacobs.suite101.com/existence-precedes-essence-a153242
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Jean-Paul_Sartre 
  • http://grelovejogja.wordpress.com/2007/02/15/konsep-para-filsuf-tentang-manusia/

Rabu, 21 September 2011

Analisa Teori Sosiologi


Teori Fungsionalisme Struktural
Teori fungsional tentang stratifikasi seperti yang dikemukakan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore merupakan salah satu karya paling terkenal dalam teori fungsionalisme struktural. Davis dan Moore menjelaskan bahwa mereka memandang stratifikasi sosial sebagai sesuatu yang universal dan niscaya. Bagi mereka tidak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi, atau sepenuhnya tanpa kelas. Stratifikasi, menurut pandangan mereka, adalah keniscayaan fungsional. Semua masyarakat membutuhkan sistem semacam itu, dan kebutuhan itu terwujud dalam sistem stratifikasi. Mereka juga memandang sistem stratifikasi sebagai struktur, dengan menegaskan bahwa stratifikasi tidak hanya berarti individu dalam sistem stratifikasi namun juga sistem posisi. Isu fungsional utamanya adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan orang-orang pada posisi “tepat” dalam sistem stratifikasi. Namun demikian melalui posisi tersebut seorang yang terpilih dapat menyalahgunakan posisinya. Contoh kasus yang dapat menggambarkan hal tersebut adalah penyalahgunaan posisi sebagai pejabat untuk melakukan tindak korupsi.
            Tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan bukanlah hal yang mengejutkan dewasa ini. Berita-berita tentang tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat seperti sudah biasa bagi masyarakat di Indonesia. Para pejabat yang diberi kepercayaan penuh oleh masyarakat lebih memilih menyalahgunakan jabatannya untuk mengeruk materi sebanyak-banyaknya daripada memikirkan dan mengusakan kesejahteraan bagi rakyat kecil. Seseorang melakukan tindak korupsi karena mereka mempynyai jabatan yang penting di dalam masyarakat. Dengan jabatan yang tinggi mereka dapat dengan mudah memanipulasi data-data yang ada, selain itu mereka juga dapat dengan mudah memerintahkan bawahannya untuk meuruti apa yang menjadi keinginannya. Berdasarkan teori fungsional tentang stratifikasi, seseorang yang semakin tinggi tingkat stratifikasi maka orang tersebut akan lebih mempunyai kekuasaan untuk mengatur orang yang posisinya lebih rendah. Mereka yang berada di posisi atas akan mempunyai tanggungjawab yang sangat besar, dan tuntutan pekerjaan yang semakin berat dijadikan alasan oleh mereka untuk membenarkan tindakan korupsi yang dilakukannya. Menurut Davis dan Moore, untuk meyakinkan seseorang agar mau menempati posisi yang tinggi dengan tanggungjawab yang besar, individu-individu harus memberikan imbalan berupa prestise yang cukup tinggi, gaji tinggi dan kenyamanan yang memadai. Namun demikian, pada kenyataannya imbalan yang besar tidaklah cukup untuk menjamin kinerja mereka maksimal. Karena kenyataan yang terjadi sekarang, para pejabat lebih sibuk mencari akal untuk melakukan korupsi daripada mencari ide untuk memberantas kemiskinan dan masalah sosial lainnya di masyarakat. Tindak korupsi dapat terjadi bukan hanya karena sifat individu yang serakah, namun juga dikarenakan iklim atau lingkungan kerja yang tidak sehat dan korupsi saat ini telah menjadi hal yang biasa sehingga seseorang akan lebih mudah memilih melakukan tindak korupsi. Selain itu suburnya korupsi di Indonesia karena hukuman yang dijatuhkan pada para pelaku korupsi tidak tegas dan terkesan memihak mereka. Memberantas korupsi akan menjadi sulit bila tidak terdapat kesadaran dalam diri individu. Oleh sebab itu sebaiknya pemberantasan korupsi dimulai dengan pembentukan individu yang baik, baru kemudian dilanjutkan ke lingkungan kerja. Masyarakat maupun pemerintah harus dapat bekerja sama dalam melakukan pemberantasan korupsi, dan aturan mengenai hukuman pelaku korupsi harus bisa lebih tegas agar member efek jera pada mereka.

Teori Konflik
Teori ini dibangun di atas dasar paradigma fakta sosial. Tokoh utama dari teori konflik adalah Ralp Dahrendrof. Pada dasarnya, teori ini merupakan serangkaian pernyataan yang menentang pendapat-pendapat fungsionalis. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah sesuatu yang statis atau paling-paling dalam kondisi ekuilibrium yang terus bergerak, namun bagi Dahrendrof, setiap masyarakat tunduk pada proses-proses perubahan. Jika para fungsionalis menitikberatkan pada keteraturan masyarakat, para teoritisi konflik melihat pertentangan dan konflik pada setiap sistem sosial. Para fungsionalis berpendapat bahwa setiap elemen dalam masyarakat memberikan kontribusi pada stabilitas, sedangkan para teoritisi konflik melihat begitu banyak elemen masyarakat yang justru berperan dalam lahirnya disintegrasi dan perubahan. Teoritisi konflik melihat apa pun tatanan yang ada di tengah-tengah masyarakat tumbuh dari tekanan yang diberikan oleh beberapa orang yang berada di puncak. Dahrendrof dan para teoritisi konflik lainnya, menitikberatkan pada peran kekuasaan dalam memelihara tatanan di tengah-tengah masyarakat.
Konsep utama teori ini adalah wewenang dan posisi, yang keduanya merupakan fakta sosial. Contoh masalah sosial yang berhubungan dengan teori konflik adalah masalah kekerasan petugas Satpol PP dalam melakukan penertiban pedagang kaki lima yang masih kerap terjadi di beberapa daerah. Para petugas Satpol PP merasa mempunyai wewenang lebih serta posisi yang yang tinggi dibanding dengan para pedagang sehingga mereka melakukan kekerasan dan tindakan sewenang-wenang dalam penertiban pedagang kaki lima. Contoh tersebut dapat menggambarkan bahwa distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematik. Perbedaan wewenang merupakan suatu tanda adanya berbagai posisi dalam berbagai masyarakat. Kekuasaan dan wewenang menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur di masyarakat. Dalam kasus kekerasan Satpol PP terhadap pedagang kaki lima dapat terlihat bahwa petugas Satpol PP berada di posisi atas sedangkan pedagang kakli lima berada di posisi bawah. Adanya perbedaan posisi tersebut yang membuat petugas Satpol PP melakukan tindakan sewenang-wenang dengan dalih menjalankan tugas melakukan penertiban. Menurut teori konflik, di dalam masyarakat selalu terdapat golongan yang saling bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang dikuasai. Penguasa di digambarkan sebagai petugas Satpol PP, sedangkan golongan yang dikuasai digambarkan oleh para pedagang kaki lima. Masing-masing golongan mempunyai kepentingan yang berbeda. Petugas Satpol PP melakukan penertiban dengan maksud untuk menjaga keindahan tata kota, sedangkan pedagang kaki lima menggelar barang dagangannya di pinggir jalan untuk mencari nafkah. Dalam contoh kasus ini seharusnya pemerintah dan petugas Satpol PP melakukan pendekatan persuasive dalam melakukan penertiban pedagang kaki lima, bukan dengan kekerasan dan tindakan sewenang-wenang. Selain itu pemerintah juga seharusnya memberikan solusi yang tepat terhadap masalah maraknya pedagang kaki lima yang berjualan di tepi jalan yaitu dengan menyediakan tempat khusus bagi para pedagang kaki lima untuk berjualan. Sehingga tata kota terlihat lebih rapi dan tentunya tidak perlu ada lagi kasus kekerasan yang dilakukan oleh petugas Satpol PP.

Tokoh dari teori ini adalah George Herbert Mead, yang merupakan pemikir terpenting dalam sejarah interaksionisme simbolis, dan bukunya yang berjudul Mind, Self and Society adalah karya terpenting dalam teori ini. Bagi Mead, keseluruhan kehidupan sosial mendahului pikiran individu secara logis maupun temporer. Individu yang berpikir dan sadar diri tidak mungkin ada sebelum kelompok sosial. Kelompok sosial hadir terlebih dahulu, dan dia mengarah pada perkembangan kondisi mental sadar diri. Salah satu konsep yang diuraikan oleh Mead adalah konsep tentang Perbuatan. Mead memandang perbuatan sebagai unit paling inti dalam teorinya. Dalam menganalisis perbuatan, Mead sangat dekat dengan pendekatan behavioris dan memusatkan perhatiannya pada stimulus dan respons. Mead mengidentifikasi empat tahap dasar yang terkait satu sama lain dalam setiap perbuatan. Keempat tahap tersebut mewakili suatu keseluruhan organik. Konsep perbuatan dapat dibagi menjadi empat konsep yang satu sama lain masih saling terkait yakni impuls, persepsi, manipulasi dan konsumasi.
Tahap atau konsep yang pertama adalah impuls, yang melibatkan stimulasi indrawi langsung dan reaksi aktor terhadap stimulasi tersebut, kebutuhan untuk berbuat sesuatu. Rasa lapar dapat dijadikan contoh yang tepat bagi impuls. Seseorang dapat merespons secara langsung dan tanpa perlu berpikir, namun seseorang (manusia) lebih cenderung berpikir tentang respons yang sesuai. Dalam memikirkan respons tersebut, seseorang tidak hanya mempertimbangkan situasi terkini namun juga pengalaman masa lalu dan antisipasi terhadap akibat-akibat dari perbuatan tersebut. Bila dikaitkan dengan masalah sosial dapat dikaitkan dengan masalah pencurian yang baru-baru ini sering terjadi. Pelaku pencurian biasanya mempunyai motif untuk melakukan pencurian, motif yang paling dominan adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Para pelaku pencurian biasanya berasal dari kalangan masyarakat lapis bawah yang kehidupan sehari-harinya serba kekurangan. Seperti contoh di atas tadi, rasa lapar yang disebabkan tidak adanya uang untuk membeli makan dapat menjadi motif seseorang melakukan pencurian. Dari rasa lapar tersebut seseorang kemudian merasakan atau mengindra stimulus melalui pendengaran, penciuman, indra perasa dan lain sebagainya. Pada tahap tersebut seseorang telah memasuki tahap kedua yaitu persepsi. Pelaku pencurian akan mencari kesempatan untuk melakukan tindak kriminal dengan melihat situasi yang ada. Dimulai dengan melihat sasaran pencurian dan melihat kesempatan yang ada. Setelah melalui tahap persepsi, seseorang akan memasuki pada tahap ketiga yaitu manipulasi, atau lebih umum lagi, mengambil tindakan dalam kaitannya dengan objek yang telah dipersepsi. Seorang pelaku pencurian sebenarnya masih berpikir tentang tindakan yang akan dilakukan. Di dalam tahap ini, seseorang akan berpikir tentang pengalaman di masa lalu dan masa depan. Dan disaat seorang pelaku pencurian akhirnya memilih untuk melakukan tindak kriminal maka dia berada di tahap yang keempat yaitu konsumasi. Di mulai dari impuls sederhana karena rasa lapar akhirnya seseorang memilih melakukan tindakan pencurian.
Pencurian yang akhir-akhir ini marak terjadi merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Bahkan anak-anak kecil yang seharusnya bersekolah dan menikmati masa bermainnya harus ikut-ikut menjadi pencuri dan akhirnya harus mendekam di dalam penjara. Pencurian kecil kemungkinan terjadi jika masyarakatnya hidup sejahtera dimana kebutuhan ekonomi, sandang, papan dan pangan dapat terpenuhi. Masalah sosial yang masih belum terselesaikan ini seharusnya menjadi perhatian utama oleh pemerintah karena tidak mungkin seseorang menjadi pencuri terus-menerus hanya untuk menghilangkan rasa lapar.

Link terkait dapat diakses di http://argyo.staff.uns.ac.id/category/teori/


Daftar Pustaka
·         Ritzer, George. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta : Kreasi Wacana
·         Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
·         Kartini Kartono. 2005. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Radio Komunitas Media Pemberdayaan Masyarakat


Radio Komunitas Angkringan
Tahun 1998 merupakan tonggak sejarah perubahan politik di Indonesia. Gelombang pembaruan menolak segala bentuk pembelengguan pemnerintah atas rakyat tak terbendung, terwakili dengan satu kata: reformasi. Denyut gelombang perubahan itu cukup menggoncang karena berpusat di jantung Indonesia, Jakarta. Hiruk pikuk reformasi yang terjadi di Jakarta ternyata tak membawa perubahan politik sedikitpun di Desa Timbulharjo. Desa yang terletak tujuh kilometer arah selatan Kota Yogyakarta itu tetap saja seperti Indonesia mini pada era sebelum 1998 : birokrasinya korup, kelas menengahnya tidak peduli (apatis), dan masyarakat akar rumputnya takut. Keadaan ini membuat sekelompok anak muda di Timbulharjo gelisah. Melihat kondisi demikian, para pemuda yang gelisah itu pun berkumpul. Lewat serangkaian obrolan di surau usai sholat tarawih, mereka bersepakat mengambil langkah nyata untuk mendorong perubahan. Tapi, langakah nyata seperti apa yang bias dilakukan? Bagaimana mungkin anak muda yang hanya belasan orang mampu mendorong perubahan di sebuah desa yang penduduknya lebih dari 20 ribu jiwa? Para pemuda itu terus mencari cara. Mereka sadar bahwa jika diibaratkan peperangan, musuh yang dihadapi terlalu kuat untuk dilawan. Dalam situasi tersebut, strategi yang paling tepat adalah gerilya. Dari berbagai gagasan yang muncul, mereka akhirnya memilih media sebagai alat pengawasan bagi masyarakat. Menyadari minimnya dana dan orang yang bersedia terlibat dalam kegiatan tersebut, bentuk media yang dianggap cocok adalah buletin yang akan diedarkan kepada warga.
Pada tanggal 14 Januari 2000, buletin warga Desa Timbulharjo terbit untuk pertama kali di Dusun Dadapan, Desa Timbulharjo. Edisi pertama dicetak sebanyak 75 eksemplar, dibiayai dengan dana hasil patungan sebesar 30 ribu rupiah, dibandingkan secara gratis kepada warga masyarakat. Pendistribusian buletin ini pada awalnya dilakukan dengan menitipkan di masjid-masjid ketika sholat Jum’at, dengan maksud memudahkan warga untuk mendapatkannya. Buletin warga Desa Timbulharjo diberi nama Angkringan yang sangat mudah terkenal serta identik dengan kehidupan masyarakat bawah, khususnya di Yogyakarta. Di warung angkringan orang dapat minum dan makan dengan harga yang sangat murah dengan sajian menu yang khas yaitu “nasi kucing” dan jahe panas. Warung angkringan bagi masyarakat Yogyakarta bukanlah sekedar tempat makan, namun juga menjadi ruang diskusi publik nyaman. Di warung angkringan orang bebas berbicara dan mengungkapkan segala uneg-unegnya tanpa rasa takut dan tekanan dari siapapun. Di luar dugaan para pelopor Buletin Angkringan, ternyata kehadiran buletin ini disambut hangat oleh warga. Melalui Buletin Angkringan yang terbit sekali dalam seminggu, warga bisa mengetahui informasi dan persoalan yang sedang terjadi disekitarnya sehingga sadar tentang arti penting sebuah informasi. Maka tak heran jika kemudian warga selalu menunggu dan menanyakan informasi terbaru dari Buletin Angkringan ini. Bahkan sejumlah warga mengusulkan agar Buletin Angkringan tidak dibagi gratis, melainkan dijual atau berlangganan. Ini dilakukan agar Buletin Angkringan bisa terus terbit. Secara bertahap, pelanggan Buletin Angkringan terus bertambah. Semula buletin yang hanya didistribusikan melalui masjid adan hanya menjangkau warga di dusun Dadapan berangsur harus memenuhi dan menjangkau seluruh di Desa Timbulharjo yang terdiri dari 16 Dusun. Kondisi ini oleh redaksi Buletin Angkringan pun direspon dengan memperbanyak oplah tiap edisinya sehingga dapat memenuhi permintaan dari warga.
Lahirnya Radio Angkringan pada perkembangannya pengurus angkringan kuwalahan melayani besarnya permintaan warga untuk berlangganan buletin karena keterbatasan jumlah personil. Periodisasi terbit sekali dalam seminggu sering kali membuat informasi yang mestinya segera diketahui warga harus tertunda. Sebagai media cetak, angkringan juga mensyaratkan kemampuan membaca bagi warga yang ingin memahami informasi yang dimuat dalam bulletin. Padahal warga Desa Timbulharjo, terutama yang berusia lanjut, banyak yang buta huruf. Berangkat dari berbagai kendala tersebut, pengurus angkringan memutuskan untuk menghadirkan media lain yang bisa melengkapi keberadaan bulletin, yaitu media radio.
Bulan Agustus 2000 Radio Angkringan resmi mengudara dengan pemancar radio bekas yang dibeli seharga 300 ribu rupiah. Peralatan radio tersebut kemudian secara bergotong royong didirikan. Menggunakan tiang antena dari bamboo dan sebagian besar peralatan berasal dari pinjaman warga, Radio Angkringan saat itu hanya bisa menjangkau sepertiga luas wilayah Desa Timbulharjo. Pada bulan Juli 2000, Buletin Angkringan mengikuti Lomba Pers Alternatif yang diadakan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) KBR68H Jakarta. Buletin Angkringan mendapat penghargaan khusus dengan kategori “Pers Desa” serta mendapat hadiah uang sebesar 2,5 juta rupiah. Dana ini digunakan untuk perbaikan dan penambahan peralatan radio hingga akhirnya seluruh wilayah Desa Timbulharjo bisa menerima siaran Radio Angkringan.
            Adapun struktur kepengurusan Radio Angkringan yaitu Sarjiman sebagai koordinator yang juga merangkap sekretaris dan bendahara, di bagian litbang Ambar Sari Dewi, Bayu dan Amron, Amrun di bidang multimedia dan web, serta Jasudi di bidang editing berita. Seluruhnya merangkap sebagai penyiar. Bentuk pemberdayaan yang dilakukan meliputi bidang budaya dan agama dengan mengadakan program macapat dan seni Sholawat Nabi bahkan program ini juga dilombakan. Di bidang politik Radio Angkringan berperan sebagai kontrol sosial dimana mensosialisasikan calon kepala desa dan programnya. Selain itu pada saat pemilihan, radio ini juga menyiarkan jalannya pemilihan dan Quick Count. Di bidang ekonomi radio ini berperan sebagai sarana promosi bagi masyarakat Timbulharjo yang memiliki usaha.


Radio Sadewa Wonolelo, Kec. Pleret, Bantul
Berawal dari sebuah Organisasi Gemilang yang terdiri 4 RT dan dipecah menjadi beberapa seksi yang memiliki keinginan membuat satu perubahan yang belum ada yaitu media untuk mengekspresikan diri. Sekitar 50 orang pemuda mensosialisasikan gagasan tentang berdirinya Radio Komunitas di 8 dusun. Meskipun banyak respon bermunculan, namun hampir 90% warga setuju. Saat itulah mereka tergerak untuk terus mewujudkan keinginan mendirikan Radio Komunitas. Namun diawal berdirinya, ada beberapa masalah yaitu tidak ada seorang pun warga yang mengerti tentang radio dan ketidak-tersediaannya dana untuk mendirikan Radio Komunitas ini. Kemudian mereka bertemu dengan NGO (LSM) dan mendapat dukungan berupa peralatan. Ketika Radio Komunitas ini mulai mengudara mulai muncul berbagai hambatan, salah satunya di bidang SDM dimana mereka tidak menguasai teknik kepenyiaran. Kemudian mereka meminta bantuan kepada Radio UNISI FM Yogyakarta untuk memberikan pelatihan dasar-dasar ilmu kepenyiaran yang dibutuhkan.
Radio Komunitas yang akhirnya diberi nama Sadewa ini bergerak di bidang kepemudaan dan lingkungan. Pada awalnya, melalui radio ini mereka mencoba mengkritik perangkat desa yang kurang memperhatikan keberadaan Karang Taruna di Desa Wonolelo. Salah satu media untuk menyalurkan kritikan tersebut adalah melalui tulisan di mading yang terbit satu bulan sekali. Selain itu, berawal dari kesadaran tentang letak geografis tempat tinggal mereka yang rawan akan longsor dan diperparah oleh perilaku masyarakat diluar Desa Wonolelo yang berburu dan menebang pohon membuat Radio Sadewa mengangkat isu mengenai lingkungan. Program awal yang dilakukan Radio Sadewa mengajak masyarakat melakukan reboisasi dengan menanam 3000 pohon.
Seiring berjalannya waktu untuk meningkatkan kualitas siaran, Radio Sadewa mengemas beberapa program. Salah satunya program yang digagas oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dengan berperan sebagai media informasi dan komunikasi aktivitas perempuan di lima desa di Bantul. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga terkait di bidang kesehatan yang bekerja sama dengan puskesmas. Rencana kedepan Radio Sadewa akan menyiarkan kegiatan warga sekitar seperti rapat RT, acara pernikahan warga, pemakaman warga dan sebagainya sehingga warga tahu kegiatan apa yang dilaksanakan di desanya. Dengan keberadaan Radio Sadewa ini muncul dampak positif dan negatif. Dampak positif yang muncul yakni warga semakin rutin berkumpul dan berperan sebagai media untuk memerangi narkoba. Namun demikian dampak negatifnya membuat warga lupa waktu.

Komentar
Pemberdayaan masyarakat tidak dapat hanya dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan saja, tetapi harus lebih pada praktek dilapangan yang memang benar-benar mampu untuk memberdayakan masyarakat. Hal tersebut telah dilakukan oleh radio komunitas angkringan dan sadewa. Melalui kedua radio komunitas tersebut, mereka dapat dibilang telah berhasil dalam usahanya memberdayakan masyarakat. Meskipun kedua radio komunitas tersebut mempunyai perbedaan dalam aspek yang ingin diberdayakan, namun keberadaan mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat ini yang lebih membutuhkan aksi nyata ketimbang hanya sekedar teori. Radio angkringan yang fokus pada isu-isu politik, ekonomi, budaya, agama dan sosial mampu memberdayakan Timbulharjo melalui buletin yang mereka buat. Ide mereka untuk membuat buletin sangat menarik karena dengan adanya buletin, masyarakat timbulharjo mampu mengetahui peristiwa atau informasi seputar desa mereka, dan buletin yang dibagikan kepada masyarakat gratis sehingga tidak akan memberatkan masyarakat. Selain melalui buletin radio angkringan juga mampu menunjukkan bahwa melalui program radio yang mereka buat, mampu memberikan perubahan positif bagi kemajuan desa Timbulharjo di segala bidang. Dengan menyiarkan secara langsung pemilihan kepala desa, masyarakat diajak untuk mampu berpikir kritis terhadap pemerintah setempat, baik dalam segi kebijakan yang dibuat maupun dari segi pelayanan kepada masyarakatnya. Hal tersebut sangatlah bagus karena masyarakat desa pada khususnya, dianggap tidak mengetahui apa-apa soal politik sehingga seakan-akan mudah dibodohi, dan keberdaan radio angkringan tersebut telah mampu memberikan informasi dan pembelajaran dalam bidang politik di masyarakat desa Timbuljharjo. Prestasi lain yang dapat di acungi jempol adalah radio angkringan juga memberdayakan masyarakat Timbulharjo dalam aspek agama dan budaya. Hal tersebut dapat terlihat dengan program acara sholawat dan tembang macapat yang disiarkan bahkan untuk sholawat sampai dilombakan. Itu sangat baik sekali karena masyarakat saat ini sudah sebagian yang mulai melupakan budaya lokal, dan dengan program tersebut masyarakat diajak untuk mampu mempertahankan budaya lokal yang ada. Selain radio angkringan ada juga radio sadewa yang lebih tertarik di bidang lingkungan. Melalui program-program yang di buat, radio sadewa ingin menyadarkan dan memberdayakan lingkungan yang terdapat di sekitar masyarakat. Hal tersebut sangatlah bagus karena pada saat ini keadaan alam di sekitar kita sangatlah memprihatinkan dengan kerusakan diberbagai tempat. Melalui program-program yang digagas oleh radio sadewa tentu saja masyarakat menjadi lebih terberdaya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan di sekitarnya.

Jas Kebesaran Partai Politik Sebagai Pembentuk Identitas


Sejarah Pakaian Jas
Seorang penulis buku Anne Hollander, mengatakan bahwa kombinasi jas dan celana panjang yang membalut tubuh pria benar-benar  kelihatan “sempurna” dan  jas bisa bertahan lama  karena punya daya tarik erotik yang kuat. Di matanya, setelan jas itu sexy. Ia membandingkan jas punya nilai yang sama dengan Concorde dan Ferrari. Itu pandangan lawan jenis saat melihat jas melekat di tubuh pria. Tapi secara sosial jas pun punya peran sendiri, bukan sekedar benda berbentuk dan berfungsi. Jas penah menjadi cap status sosial ketika awalnya diciptakan di akhir abad 17, tapi pada dua abad berikutnya berubah  menjadi lebih aspiratif ketika orang mulai berpakaian dengan maksud untuk memperlihatkan jati dirinya. Sepanjang sejarahnya jas berkonotasi dengan perkembangan sosial dan berasimilasi dengan kebudayaan Eropa sebelum merembas ke belahan dunia mana saja sekarang ini.  Dengan perjalanan yang tidak singkat jas pada akhirnya mengalami keterbatasan dan penyempitan peran. Ia kini sangat terkait dengan dunia kaum pekerja dan tidak lagi dipakai sepanjang hari. Dari sisi mode, setelan jas merupakan senjata paling ampuh bagi pria untuk menyatakan jati dirinya sampai  kemudian diadopsi kaum wanita di abad 20.
Pada bulan Oktober 1666 Raja Charles II pertama kalinya memakai rompi dengan mantel di atasnya dan celana panjang lebar. Mantelnya panjang sampai lutut,”  tulis catatan sejarah yang dimuat John de Greefe dalam buku Costumes et Vestons terbitan Booking International, Paris, tahun 1989. Pengikut setia raja langsung mengadopsi baju baru sang baginda. Model pakaian itu pun menyebar di kalangan biasa. Gaya pakaian itu akhirnya menjadi cikal bakal setelan jas yang perjalanannya mencapai tiga abad. Sebenarnya pada mulanya raja Inggris dan para penjahitrnya mendapat inspirasi untuk membuat jas selutut itu dari pakaian tradisional Turki dan Persia,  berupa mantel panjang yang bentuknya semacam jubah panjang. Sebelum menjadi berita penting di istana, mantel itu lebih dulu dipakai dalam lingkungan militer. Mantel Turki itu juga sudah dipakai para artis dan seniman yang kemudian membawanya masuk ke salon istana.
Sejarah mencatat, setelan jas berkembang pesat justru karena hubungan buruk antara Inggris dan Prancis yang berlangsung pada abad 18. Pada saat itu  perseteruan kedua negara itu bukan saja terjadi dalam isu-isu politik, tapi juga intrik pengaruh mempengaruhi dalam soal busana. Mantel Turki yang sudah direkayasa berbentuk jas sepanjang lutut itu kemudian dipotong pendek menjadi semacam jaket sepinggang yang disebut waistcoat.  Para penjahit istana memperkaya pakaian itu dengan hiasan dekoratif  berupa sulaman dari benang emas dan perak. Bahkan celana pun diperlakukan sama dekoratifnya. Tidak jarang setelan jas itu dijahit di atas bahan mewah, seperti beluduru. Ini membuat reputasi busana Inggris itu semakin berkilau.
Berita penemuan baru itu sampai juga di negeri musuh. Saat itu Prancis diperintah oleh Raja Louis XIV,  yang terkenal dengan ucapannya,  “L’etat cest moi” atau “Negara adalah saya”. Jelas saja raja yang sohor sebagai pecinta penampilan itu panas hati mendengar kejayaan jas Inggris tadi. Sang raja pasang taktik untuk merendahkan nilai jas itu sambil mengejek raja Inggris dan para penjahit istananya. Jas pendek yang di Inggris dipakai oleh kalangan istana, justru ia wajibkan untuk dipakai sebagai seragam tentara infantri Prancis. Tidak kurang para pelayan diharuskan pula memakai jas pendek itu. Namun, siapa sangak ternyata jas tersebut menjadi terkenal di kalangan bangsawan Perancis, bahkan Raja Louis XIV sendiri juga ikut mengenakan jas tersebut.
Mulai saat itu jas kemudian dikembangkan menjadi berbagai macam model dan warna. Jas kemudian dikembangkan lagi oleh bangsa Inggris dengan model dan fungsi yang berbeda. Inggris merancang jas untuk berburu dengan berkuda yang dikenal dengan nama riding coat. Dan kemudian bentuk dan model jas semakin berkembang disesuaikan dengan selera masyarakat, dimana bentuk jas semakin sederhana. Jas kemudian dirasakan sebagai sesuatu yang lebih ringan untuk dipakai. Ketika lulusan Harvard Amerika mulai masuk angkatan kerja, mereka membawa kebiasaan berbusana semasa kuliah, yaitu  celana  jins,  yang digabung dengan dunia kerja baru, yaitu jas. Sejak itu setelan jas dan celana jins diterima di mana-mana sampai sakarang.
Pada dekade 1990an orang menuju pergantian abad. Gaya hidup semakin modern dan praktis. Pilihan pakaian semakin ringkas. Setelan jas tidak mengalami perubahan mendasar, tapi masuknya serat Lycra pada setelan jas membuat pakaian pria itu nyaman dan  tidak kusut. Jas semakin demokatis, dipakai segala kalangan. Globalisasi membuatnya diterima di segala penjuru dunia. Tapi pada akhirnya setelan jas menemukan sendiri keterbatasannya. Ia kini merupakan bentuk pakaian yang lebih mencitrakan pria professional dan tidak lagi dipakai sepanjang hari. Selama tiga abad setelan jas merupakan busana yang paling mendasar bagi kaum pria di Eropa sampai akhirnya merembas ke belahan dunia mana saja. Sebuah jangka waktu yang tidak sebentar. Kalaupun ia bisa bertahan sampai pergantian abad baru ini, itu karena esensi pakaian pria ini terletak pada  pola yang terus diulang-ulang dan setia pada bentuk tailoring, tapi terus bergerak dan siap menerima perubahan.



Jas Kebesaran Partai Politik Sebagai Identitas Diri
Partai politik konon pertama kali lahir di Eropa Barat dengan latar belakang pemikiran bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta dikutsertakan dalam proses politik, tetapi bila ditelaah lebih lanjut, sebenarnya latar belakang lahirnya partai politik suatu negara sangatlah kompleks. Di Inggris dan di Perancis misalnya, partai politik dipergunakan untuk mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja, sementara itu di negara lain munculnya partai politik berkaitan dengan lahirnya pandangan hidup atau ideologi tertentu, seperti sosialisme. Sedangkan di negara-negara jajahan, partai politik sering dipergunakan atau didirikan dalam rangka pergerakan nasional di luar dewan perwakilan rakyat kolonial. Pendapat yang terakhir mengenai lahirnya partai politik seperti pantas untuk menggambarkan lahirnya partai politik di Indonesia. Dewasa ini, dunia politik di Indonesia ramai oleh munculnya partai politik dengan berbagai ideologi dan visi misinya. Setiap partai politik mempunyai identitasnya sendiri mulai dari lambang partai politik hingga warna bendera bahkan jas kebesaran partai politik tersebut.
            Jas yang awal sejarahnya adalah sebagai fashion di jaman kerajaan Inggris dan Perancis, kini telah menjadi suatu cara berpakaian yang wajar bahkan di ranah politik. Dalam buku-buku pengantar komunikasi, fashion, busana, pakaian, dandanan maupun perhiasan mampu membentuk komunikasi artifaktual. Komunikasi artifaktual biasanya didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian dan penataan berbagai artefak, misalnya pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furnitur di rumah. Pakaian atau fashion yang kita pakai dapat menampilkan berbagai fungsi. Sebagai bentuk komunikasi, pakaian dapat menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat non-verbal. Seseorang dapat membuat kesimpulan tentang siapa kita sebagian juga melalui apa yang kita kenakan.
            Simmel melihat fashion dan pakaian sebgai dua bentuk yakni, sebagai pagar dan sebagai jembatan. Jika fashion (pakaian) dipandang sebagai pagar, mampu melukiskan satu kelompok dari kelompok lain, untuk menjamin adanya satu identitas yang tetap terpisah dari dan berbeda dengan identitas yang lain. Pernyataan Simmel tersebut tepat jika digunakan untuk melihat identitas partai politik di Indonesia yang salah satu unsur pembentuknya adalah jas kebesaran dengan berbagai warna yang mewakili partai politik tersebut. Jas kebesaran tersebut telah digunakan oleh partai politik dan elite politik sebagai salah satu pembentuk identitasnya. Saat seorang pejabat dari suatu partai politik mengenakan jas kebesarannya yang bewarna biru, orang awam akan segera menebak dan mengetahui bahwa pejabat tersebut merupakan anggota dari fraksi Demokrat yang identik dengan warna biru. Demikian pula jika seorang pejabat datang ke suatu rapat pertemuan dengan mengenakan jas kebesaran bewarna merah, orang akan dengan mudah menangkap bahwa pejabat tersebut berasal dari fraksi PDI yang identik dengan warna merah. Bahkan tanpa mengenakan jas kebesaran, jika orang awam mengenakan pakaian bewarna merah, biru atau kuning sekalipun dia bukanlah anggota dari salah satu partai politik, orang lain akan dengan mudah mengaitkan warna pakaiannya itu dengan partai politik yang identik dengan salah satu warna tersebut, meskipun konteksnya hanyalah sekedar gurauan.
            Pandangan Simmel mengenai fashion (pakaian) juga melihat sebagai jembatan. Dalam pandangannya tersebut, fashion (pakaian) memungkinkan para anggota kelompok untuk berbagi kesamaan identitas, untuk memberikan cara atau ruang bagi perjumpaan. Secara keseluruhan dalam hal ini, fashion (pakaian) mampu mengambarkan satu kelompok yang membedakannya dengan kelompok lain yang pada saat yang sama digunakan untuk mengidentifikasi kesamaan nilai di dalam satu kelompok. Hal tersebut dapat terlihat ketika diadakan rapat atau sidang yang mengundang berbagai partai politik. Di dalam satu ruangan kita pastinya akan melihat berbagai warna jas kebesaran yang mewakili partainya. Mereka yang menggunakan jas kebesaran berwarna biru akan berkumpul menjadi satu kelompok, begitu pula mereka yang menggunakan jas kebesaran dengan warna yang berbeda. Saat berkumpul menjadi satu mereka memberikan suatu identitas bagi kelompok yang lain bahwa "inilah partai kami", atau dapat juga mengatakan "hei partai biru (Demokrat) di sebelah sini".
            Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwa jas kebesaran yang digunakan oleh para elite politik merupakan salah satu unsur pembentuk identitas di kalangan masyarakat umum, dimana dengan mengenakan jas kebesaran tersebut mereka mampu menunjukkan asal fraksi partai politik yang menjadi ideloginya. Dalam hal ini jas yang awalnya merupakan suatu fashion dikalangan bangsawan Inggris dan Perancis yang digunakan untuk menunjukkan status sosial, kini mengalami perubahan terutama di dunia politik di Indonesia, yang menggunakan jas kebesaran sebagai salah satu unsur pembentuk identitas para elite politik.


Daftar pustaka
Barnard, Malcolm. 2006. Fashion Sebagai Komunikasi : Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta : Jalasutra
Panuju, Redi. 2009. Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher Kelompok Penerbit Pinus
Website : http://muarabagdja.com/Isi/Sejarah/Produk/Jas.htm